Meski Beda, Tetap Bisa Bersama
’’AH, nggak mungkin ada kisah cinta kayak Im Ju-kyung sama Lee Soo-ho di dunia nyata!’’ Well, kadang hati ini ’’jatuh’’ tanpa direncanakan
lho. Nggak peduli status sosialnya, nggak peduli rupanya, nggak peduli sekolah mana, namanya cinta ya cinta aja. Nggak percaya kalau ada pasangan yang salah satunya dianggap kurang menarik secara fisik? Nih, disimak! (sak/c18/rat) I Deserve Him, He Deserves Me
Menurut pengalamanku saat dekat sama boy crush yang sempurna di mata banyak orang, ya pasti ada
aja yang julid. Apalagi, dari segi fisik dan penampilan, aku nggak sepadan sama daia. Bayangkan aja, dia ini atlet sekaligus anak band yang punya banyak prestasi. Jelas fansnya ada di mana-mana. Sementara aku biasa-biasa aja. Aku nggak bisa main alat musik dan nggak punya keahlian serupa.
Thankfully dia mendukung aku buat bersikap bodoh amat sama omongan orang-orang. Menurutku sih kalau ada orang yang julid, artinya mereka iri karena nggak bisa kayak aku. Oleh karena itu, aku nggak mau ambil pusing. Kalau aku merasa kurang oke, ya aku bakal mempercantik diri. Kalau aku merasa
temenku lebih sedikit dari dia, aku berusaha buat cari teman sebanyak-banyaknya. As long as I feel okay about it, then I do it!’’ Keluar dari Zona Nyaman
Aku udah terlalu nyaman sama image pendiam. Eh, ternyata
image itu bikin aku minder dan merasa FOMO (Fear of Missing Out) karena ingin mengejar dia. Aku takut nggak bisa nyambung karena dia aktif berkegiatan. Dia ikut organisasi, rajin, dan juga pintar dari segi akademis maupun nonakademis. Beda sama aku yang cuma kupu-kupu alias kuliah-pulang.
Emang sih dia nggak pernah mempermasalahkan hal ini. Tapi, dari diriku sendiri kalau lama-lama nggak berubah, pasti akan ada efek negatif ke depannya. Akhirnya, aku mulai berani mencoba hal baru. Yang tadinya aku nggak mau tahu, malah jadi penasaran sama banyak hal. Jadi, lama-lama rasa percaya diriku mulai terbangun.’’
Baru sebulan lalu doi cerita ada
temennya yang bilang kalau aku nggak cocok jalan sama dia. Jujur aku marah, sakit hati, dan bingung nggak tahu harus
ngapain. Apalagi kalau udah menyinggung fisik, nggak bisa banget ditoleransi karena kayak udah jadi sugesti gitu buat diinget terus. Setiap kali kami jalan, aku selalu teringat kata-kata temennya yang bikin aku terus-terusan mikir.
Dia sih selalu bilang, ’Omongan orang nggak usah dipikir dalem-dalem. Mereka nggak tahu apa-apa tentang kamu. Mereka juga nggak tahu gimana aku ke kamu. Biarin aja.’ Awalnya sih tetap kepikiran, tapi lama-lama cuma jadi angin lalu aja kok. Kan aku hidup
nggak buat dengerin omongan orang.’’