Relaksasi PSBB
RENCANA pemerintah untuk merelaksasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada awal Juni mendatang membuat khawatir banyak pihak. Ada sejumlah hal yang menjadi catatan. Yang pertama, tentu saja tolok ukur yang menjadi dasar keputusan relaksasi tersebut belum jelas.
Dalam dunia epidemiologi, pencabutan pembatasan atau karantina biasanya berdasar pada dua hal. Yakni, tingkat infeksi baru dan tingkat kematian menurun drastis dalam beberapa waktu secara konstan. Kemudian, menghitung tingkat Ro (tingkat penularan) di bawah 1. Dua hal itulah yang menjadi acuan pemerintah Jerman untuk merelaksasi lockdown di negaranya.
Sementara itu, di Indonesia data tersebut sulit dicari. Sebab, tingkat tes yang minim masih menjadi kendala. Dengan jumlah penduduk yang dites masih seperti ini, tentu saja sulit mencari gambaran sepenuhnya persebaran penyakit ini di masyarakat.
Selain faktor di atas, timing relaksasi PSBB dianggap tidak tepat. Dari sejumlah model perkiraan, Juni justru diperkirakan sebagai puncak pandemi di Indonesia. Adalah sebuah kebijakan yang aneh jika pada puncak pandemi, pemerintah malah memutuskan untuk merelaksasi PSBB.
Siapa pun tahu bahwa yang hendak diselamatkan sebenarnya adalah ekonomi. Namun, tidak ada jaminan jika reopen PSBB sebagaimana yang dimaksudkan awal Juni ini bisa langsung memulihkan ekonomi. Ada banyak cerita bagaimana sejumlah pengusaha mal yang gamang ketika diminta untuk membuka malnya pada 8 Juni mendatang. Atau, para pengusaha bus yang justru bingung dan tidak suka ketika disuruh beroperasi sejak 7 Mei lalu.
Selain itu, merelaksasi PSBB di puncak pandemi jelas hanya menghasilkan lonjakan kasus penularan baru Covid-19. Yang terjadi, RS sangat mungkin kolaps, banyak orang yang positif tidak akan mendapatkan bed. Jika kondisinya parah, yang muncul bukan hanya problem kesehatan dan ekonomi. Melainkan juga problem sosial.
Sebaiknya pertahankan PSBB terlebih dahulu, fokus melakukan tes masif, dan melaksanakan segala upaya untuk menekan kurva pertumbuhan infeksi baru. Seharusnya, untuk bangkit, pemerintah fokus mengatasi sumber masalah ekonomi itu sendiri: pandemi.