Jawa Pos

Balzac dan Fantasi Global

- Oleh EKA KURNIAWAN

HONORÉ de Balzac, salah satu penulis besar Prancis, pernah menulis sebuah catatan perjalanan berjudul Voyage de Paris à Java. Perjalanan dari Paris ke Jawa, tanpa pernah sekali pun menginjakk­an kaki di Pulau Jawa. Lho, maksudnya?

Yang mengaku pernah pergi ke Hindia Belanda di masa itu, di abad kedelapan belas, adalah temannya. Balzac hanya mendengarn­ya. Mungkin temannya mengarang bebas alias ngibul atau Balzac sendiri yang berfantasi gila-gilaan.

Bagaimana tidak. Di dalam bukunya, ia berkisah tentang pohon upas yang tumbuh di tanah Jawa. Pohon beracun yang tumbuh di bekas gunung berapi. Saking beracunnya, kriminal yang dihukum mati hanya perlu disuruh membacok batang pohon itu.

Tak lupa fantasi seksual lelaki Eropa atas perempuan Jawa yang ”semua putih, hanya alis mereka yang hitam pekat dan mata cokelat mereka membentuk kontras atas wajah pucat ajaib ini”. Dan menambahka­n, ”Sebagian besar perempuan ini kaya, banyak di antaranya janda.”

Di luar konteks soal watak orientalis­menya, saya justru bertanyata­nya: kenapa orang senang berfantasi? Bahkan tiga abad kemudian, ketika kita di tanah Jawa membaca buku ini dan tahu isinya agak berlebihan, kita masih bisa terhibur oleh fantasinya.

Saya rasa itu alasan yang sama kenapa kita membaca novel-novel Jules Verne. Kita senang, mungkin juga penasaran, bagaimana rasanya bertualang ke perut bumi. Bagaimana rasanya berkelilin­g dunia dengan balon udara.

Fantasi, jelas berguna dalam urusan melemparka­n diri kita dari kenyataan yang ada. Katakanlah dalam bayangan Balzac, ”Segera setelah datang, seorang lelaki Eropa bisa langsung kawin (dengan janda Jawa), menjadi kaya sebagaiman­a mereka impikan di malam-malam panjang dan dingin di negeri sendiri.”

Di luar itu, fantasi juga membantu manusia melakukan simulasi bagaimana dunia di waktu dan tempat yang berbeda. Barangkali terpesona oleh buku Balzac ini, penyair Prancis Arthur Rimbaud sampai mendaftar jadi tentara Belanda dan dikirim ke Jawa.

Apakah Jawa yang dialaminya sama dengan Jawa yang dibacanya, itu soal lain. Yang jelas, fantasi bisa menggerakk­an manusia untuk menggapai apa yang ada dalam fantasinya. Tak hanya membebaska­n diri dari kepahitan, tapi juga keluar dari kenyamanan hidup.

Di tengah suasana penuh kecemasan karena merebaknya virus korona hampir di seluruh dunia, saya teringat novel Jose Saramago, Blindness. Kita bisa menempatka­n novel ini juga sebagai fantasi, ia menyimulas­ikan bagaimana jika terjadi wabah?

Di novel itu yang dimaksud adalah wabah kebutaan, yang dengan cepat menular dari satu manusia ke manusia lain. Penyakitny­a dalam tingkat tertentu mungkin bisa diganti, tapi yang jelas, ia menggambar­kan apa yang bakal terjadi dalam situasi seperti itu.

Mencoba menahan persebaran, pemerintah berusaha bertangan besi, menyeret siapa pun yang terkena wabah ke karantina. Korban memperoleh stigma. Masyarakat menjadi keos, panik. Makanan jadi rebutan, petugas kewalahan.

Bukankah itu yang terjadi sekarang? Pasta menghilang di supermarke­t beberapa kota di Australia. Barang-barang menghilang di toko-toko kelontong Kota Milan. Ibadah umrah dihentikan di Arab Saudi. Kota Wuhan, sumber wabah korona, sudah berminggum­inggu dikunci.

Novel-novel semacam itu, atau film-film sejenis, jelas (atau seharusnya) mengajari kita bagaimana bereaksi jika hal demikian terjadi dalam kehidupan nyata. Kita sudah membayangk­annya, melakukan simulasi, dan itu sisi baik dari fantasi.

Saya ingin kembali ke buku Balzac. Selain menggambar­kan eksotisme dunia Timur yang asing, saya rasa buku ini juga merupakan bagian dari fantasi tentang dunia global. Tentang petualanga­n ke negeri-negeri asing, membuka batas-batas. Tentang pertemuan.

Fantasi itu telah menjadi kenyataan hari ini. Orang dengan mudah bepergian dari satu negeri ke negeri lain. Barang yang kita miliki didesain di California, dirakit di Vietnam, dan bahan bakunya dari Nigeria. Anak saya bisa ”berjalan-jalan” ke Menara Eiffel dengan Street View Google berkat jaringan serat optik lintas benua.

Fantasi yang dibawa buku semacam Voyage de Paris à Java telah membawa dunia sejauh ini. Sekaligus pada akhirnya ia membawa kecemasan baru. Gerakan anti-imigran merebak di mana-mana, diikuti politik identitas yang sektarian, hingga di beberapa tempat menjurus ke kekerasan.

Tentu ia juga memberi kita kejutan, yang tak terbayangk­an sebelumnya, termasuk wabah korona yang menyebar dalam skala global. Persebaran luas ini hanya bisa terjadi karena adanya pergerakan manusia dan barang lintas negara, lintas benua. Apakah kita harus mengutuk fantasi Balzac? Tidak.

Kita hanya perlu memiliki fantasi lain, harapan lain, rasa penasaran lain dan tergerak olehnya. Setidaknya dari Blindness, kita bisa mencegah wabah tak berujung menjadi situasi anarkistis di mana, siapa yang punya uang lebih, bisa memborong masker dan mi instan lebih banyak.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia