Serunya Tebak-tebakan Buah
NORA Meilinda Hardi punya cara tersendiri untuk menstimulasi buah hatinya, Muhammad Kenatra Basyir. Sebetulnya, kata Nora, malaikat kecilnya itu mengenal stimulasi sejak dalam kandungan.
Ibu satu anak tersebut mengaku sering ngobrol, membacakan buku cerita, sampai menyorotkan cahaya senter ke perut di ruang gelap. ”Jadi, seolah-olah ngenalin konsep pagi dan malam. Pokoknya, aku percaya pemberian stimulasi sejak dini bisa mengoptimalkan perkembangan otak anak,” katanya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (13/2).
Saat Ken berusia 3,5 tahun, dosen di Universitas Muhammadiyah Bandung itu sering mengajaknya memindahkan objek dari satu tempat ke tempat lain. Nora juga kerap meminta Ken memilih benda yang ingin dipegang.
”Aku siapin benda-benda buat Ken belajar ngeraba. Misalnya, kain yang kasar, lembut, basah, lembek, dan kering,” tuturnya. ”Ken juga sering aku ajak keluar buat dengerin suara-suara,” tambahnya.
Perempuan kelahiran Bandung pada 1990 itu tak pernah memaksa Ken mengikuti apa yang dia mau untuk urusan stimulasi. Nora juga menghindari stimulasi yang membuat Ken stres. Karena itu, bentuk rangsangan yang diberikan menyesuaikan usia buah hatinya.
Tantangan yang sering dihadapi Nora ialah meredam ego sebagai orang tua. ”Harus pinter observasi Ken sih. Jadi, aku enggak gampang sakit hati kalau anak nggak ngikutin stimulus yang dikasih. Anak butuhnya apa, ibu harus tau,” paparnya.
Lain bunda, lain cara menstimulasi anak. Hidayati Nurfatah, misalnya. Perempuan 29 tahun itu memberikan rangsangan kepada buah hatinya, Raka Aditya Putra Budiman, sejak usia sebulan. ’’Sekarang usia anakku 16 bulan. Dari usia sebulan, aku kasih stimulasi dasar. Mulai berpelukan, ngajak ngobrol, sampai bersentuhan kulit antara aku sama anakku (Raka, Red),” ungkapnya kemarin.
Dalam setiap aktivitas, Hifa –sapaan Hidayati Nurfatah– memberi selingan bercanda dan kontak mata. Saat Raka mengalami tantrum, Hifa mengikuti keinginannya dulu. Setelah Raka tenang, barulah proses stimulasi dilanjutkan.
Sementara itu, Prof Dr dr Saptawati Bardosono MSc menyatakan, stimulasi sederhana bisa melalui perkenalan dengan makanan. Itu adalah bentuk rangsang kecerdasan terhadap bentuk, warna, dan rasa. ”Buah punya warna, bentuk, dan rasa. Bisa menjadi permainan, tebak-tebakan juga boleh,” jelasnya saat ditemui pada 27 Januari lalu di FK Universitas Indonesia.
Dia menambahkan, meski simpel, proses tersebut hendaknya tak membuat jiwa anak tertekan. ”Kalau anak stres, stimulasi justru tak bisa diserap dan direspons,” terangnya.