Bahasa Menyuburkan Nasionalisme
SEBUAH unggahan di laman Facebook Ivan Lanin 14 Oktober lalu itu menggelikan sekaligus menyadarkan. ”I told you not to do that, but you don’t listen. Now, look what happened!”
Di bawah kalimat itu, Ivan menawarkan padanannya yang jauh lebih sederhana, dan tentunya dalam bahasa Indonesia: Kan!
Begitulah Ivan mengisi hari-harinya nyaris satu dekade belakangan. Melalui berbagai lini masa, Wikipediawan 44 tahun tersebut terus mengedukasi masyarakat agar selalu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Hampir setiap hari ada saja warganet yang bertanya sebuah padanan kata atau cara penulisan yang tepat untuk sebuah frasa atau kalimat. Konsistensi itulah yang mengantar dia menerima penghargaan Peneroka Bahasa Daring pada 2016 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. ”Saya juga dilibatkan pada Sidang Komisi Istilah Badan Bahasa pada 2014,” terangnya.
Di kala lain, cuitannya pada 4 Oktober lalu membuat yang membacanya miris. ”Tanpa keterampilan bahasa, si Pintar tampak dungu. Sebaliknya, si Dungu tampak pintar dengan bermodal lidah yang fasih atau pena yang tajam. Kuasai bahasa, kuasai hatinya dan dunia.” Cuitan itu seperti menyiratkan kegundahannya tentang bahasa yang bisa menjelma pisau bermata dua. Bahasa bisa menjadi penolong atau sebaliknya, merusak. Manusia berkomunikasi sekaligus berkonflik dengan bahasa.
Ivan menuturkan, dalam sejarahnya, bahasa selalu berevolusi di tengah masyarakat. Tak terkecuali bahasa Indonesia. ”Perekat sebuah bangsa itu ada tiga,” tutur Ivan. ”Yakni, kesamaan ras, agama, dan bahasa. Dalam konteks Indonesia, bahasalah yang merekatkan. Sebab, agama dan ras kita berbeda-beda,” tuturnya kepada wartawan Jawa Pos Ferlynda Putri di Jakarta.
Pada Kongres Pemuda II, kala Sumpah Pemuda diikrarkan, diputuskan, bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Salah satu sebabnya, saat itu perwakilan organisasi yang turut dalam kongres hanya bisa berbahasa Belanda, Melayu, dan daerah masing-masing. Padahal, mereka harus bertukar ide dan gagasan secara intensif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Dalam metamorfosisnya, masyarakat dan bahasa memiliki hubungan timbal balik. Ivan mencontohkan, zaman dulu jarang ada yang mempermasalahkan perbedaan agama. Kini satu agama tapi berbeda aliran saja sudah bisa menimbulkan perbedaan tajam. Dalam hal ini, penggunaan bahasa pun ikut terpengaruhi.
Akhir-akhir ini muncul fenomena di mana terminologi keagamaan yang sejatinya bersifat eksklusif dipakai secara serampangan di muka umum. Dampaknya, terjadi gesekan sosial yang dulu nyaris tidak pernah ada. Jenis terminologi yang sama juga sering kali muncul untuk menunjukkan bahwa seseorang atau suatu kelompok lebih religius daripada yang lain. Belum lagi propaganda politik yang berhasil membelah masyarakat Indonesia untuk berhadapan. Alihalih menjaga cita-cita Sumpah Pemuda untuk menjadikan bahasa sebagai pemersatu dan memperkuat nasionalisme, fenomena itu justru mengancamnya.
Namun, Ivan menolak jika bahasanya yang disalahkan dalam persoalan tersebut. Menurut dia, pola pikir penggunanya yang harus dibenahi. ”Cara pertama adalah bagaimana propaganda bisa dikurangi,” ucap dia. Yang perlu dilakukan, dan selama ini telah dilakukan oleh Ivan, adalah menempatkan bahasa secara proporsional dan kontekstual, lalu mengampanyekan bahwa berbahasa Indonesia dengan baik itu keren. Yang dilakukan oleh Ivan sejak 2006 adalah terus menggali padanan kata dari lema-lema asing yang sering kali dipakai dalam kehidupan sehari-hari agar terkesan lebih intelek. ”Misal, meeting di-cancel.
Padahal, ada padanan ’rapat dibatalkan.’Dan, itu tetap keren,” tuturnya.
Cara kedua, berusaha agar orang tidak terpengaruh para propagandis. Selain melalui media sosial, Ivan berkeliling Indonesia mengadakan seminar dan pembelajaran kepada masyarakat untuk terus menggalakkan berbahasa Indonesia itu keren. ”Terjadinya hoaks karena orang Indonesia masih belum pintar berbahasa Indonesia,” tandasnya.
Untuk itu, Ivan mengapresiasi dikeluarkannya Perpres 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Meski masih meragukan efektivitasnya, setidaknya dengan peraturan tersebut masyarakat dibuat terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. ”Saya pernah jadi pembicara di salah satu acara di Bali yang mengharuskan pakai bahasa Inggris. Jadi, di acara tersebut saya tetap pakai bahasa Indonesia, lalu saya artikan ke bahasa Inggris,” bebernya.
Sebagai orang yang berlatar belakang pemrograman komputer, Ivan punya mimpi besar membidani lahirnya sebuah alat ”pemadam” kata asing otomatis. Jadi, setiap kali seseorang menemukan istilah asing, tinggal dimasukkan saja, lalu muncul padanan katanya dalam bahasa Indonesia.