Pak Presiden, Selamat Kolaborasi dengan Milenial
’’MIMPI kita pada 2045, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai USD 7 triliun. Indonesia sudah masuk 5 besar negara ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati 0 persen. Kita harus menuju ke sana.’’
Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya sebagai presiden RI 2019–2024. Menyimak penuh pidato Presiden Jokowi saat pelantikannya sebagai presiden RI 2019–2024, terasa ada optimisme menghadapi masa depan Indonesia.
Pidato adalah tatanan kata yang bersumber dari gagasan. Gagasan Pak Jokowi boleh jadi melegakan kita semua. Tetapi, yang perlu dicermati, sebagaimana yang Pak Presiden sampaikan langsung, terdapat kalimat awal, ’’Saya bermimpi ........ ’’ Karena itu, yang menjadi urgen adalah: ’’Bagaimana mewujudkan mimpi itu menjadi kenyataan?’.’
Narasi Ajakan
Optimisme dalam mimpi Pak Jokowi sesungguhnya adalah sebuah pesan ajakan untuk mewujudkan kemajuan bersama. Sebagai sebuah ajakan, agar terwujud diperlukan partisipasi semua kalangan. Sebab, memang dalam prinsip komunikasi, sebuah pesan takkan bermakna manakala tidak mendapat respons support dari pihak yang diberi pesan.
Jika merunut perjalanan Pak Jokowi semenjak 2014, sesungguhnya ada 3 pesan kunci yang dikomunikasikan untuk mengajak rakyatnya dalam memajukan Indonesia. Pesan pertama adalah ’’Revolusi Mental’’ yang diungkapkan saat maju dalam Pemilihan Umum Presiden 2014– 2019. Pikiran ini berisi ide untuk melakukan perubahan cara berpikir dari sifat malas menjadi dinamis dan produktif.
Pesan kedua adalah ’’Kerja Kerja Kerja’.’ Pesan ini dicuatkan di tengah masa kerja Pak Jokowi setelah menjadi presiden ke-7 RI. Pikiran ini berisi ajakan agar rakyat Indonesia tidak bermalas-malasan dengan menghasilkan karya.
Pikiran ketiga adalah ’’Kerja Bersama, Menuju Indonesia Maju’.’ Sebagaimana yang dicuitkan menjelang pelantikannya sebagai presiden masa bakti 2019–2024.
Ketiga pesan yang dinarasikan Pak Jokowi adalah ajakan yang sifatnya produktif. Dalam pandangan komunikasi pembangunan, sebuah pesan, sebaik apa pun, ternyata tak cukup mudah bisa menggerakkan pihak lain untuk mendukung dan apalagi terlibat berpartisipasi. Diperlukan keakuratan melakukan komunikasi agar hasilnya efektif.
Wajib Kolaborasi
Rumus penting dalam mewujudkan komunikasi akurat mesti diawali dengan pemahaman terhadap khalayak sasaran/yang bakal diajak berpartisipasi. Masyarakat Indonesia, yang dalam hal ini diharapkan berpartisipasi memajukan Indonesia, adalah masyarakat yang tengah berada di ’’zaman bergerak’.’
Zaman bergerak adalah sebuah era yang penuh dinamika, ketidakpastian, dan mengalami masa transformasi sosial. Dalam teknologi komunikasi informasi khususnya, yang saat ini mendeterminasi perilaku sosial, terjadi perubahan dari teknologi manual ke digital.
Penempuhan menuju 2045, sebagaimana mimpi Pak Jokowi, sejatinya sangat ditentukan di era kepemimpinan 2019–2024 ini. Indikasinya dapat ditautkan dengan komposisi ’’bonus demografi’,’ di mana angka ketergantungan (yang harus dibiayai) menurun, sementara angka usia produktif meningkat.
Fenomena menurunnya angka ketergantungan yang terus berlanjut hingga mencapai bonus demografi pada titik terendah secara tidak langsung akan meningkatkan suplai angkatan kerja (labor supply), tabungan (saving), dan kualitas sumber daya manusia (human capital). Era ini juga diikuti berkurangnya biaya untuk pemenuhan kebutuhan penduduk usia tidak produktif. Akibatnya, sumber daya yang ada akan dapat dialihkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dengan kata lain, pada periode bonus demografi akan terbuka sebuah kesempatan/ jendela peluang
(window of opportunity) yang dapat dimanfaatkan untuk meraih keuntungan ekonomis yang lebih besar. Jendela peluang ini diperkirakan terjadi sekitar periode 2019–2024, yaitu ketika rasio ketergantungan mencapai sekitar 45,4%. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Indonesia akan mengalami bonus demografi pada rentang waktu 2020– 2030. Pada saat itu jumlah usia angkatan kerja (15–64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedangkan sisanya 30 persen merupakan penduduk yang tidak produktif.
Intinya, Pak Jokowi dengan narasi pesan ’’Kerja Bersama Menuju Indonesia Maju’’ hanya dapat terwujud jika mengoptimalkan posisi dan peran usia kategori milenial. Sebab, merekalah kini yang menjadi penentu masa depan.
Pada awal pemerintahan keduanya, usia milenial yang dipersepsikan produktif mulai meningkat. Berbarengan dengan fenomena menurunnya angka ketergantungan, ini merupakan kesempatan besar untuk menjadi supporting bagi ajakan membangun Indonesia secara produktif.
Kini yang jadi persoalan adalah bagaimana menyambungkan komunikasi dan relasi dengan kaum milenial. Sementara generasi milenial tampaknya didorong dengan prioritas (cara berpikir) yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Bahkan, penelitian Stewart dkk (2017) menunjukkan bahwa budaya lama dapat berfungsi sebagai pemberat dalam kasus karyawan milenial.
Selain itu, PricewaterhouseCoopers (2013) menemukan bahwa milenial tidak percaya produktivitas harus diukur dengan jumlah jam kerja di kantor, tetapi dengan output pekerjaan yang dilakukan.
Saya masih optimistis manakala pikiran pidato Pak Jokowi benarbenar terealisasi. Apalagi diakuinya bahwa untuk mewujudkan kerja kerasnya diperlukan cara baru dan nilai baru. Ini selaras dengan pikiran milenial.
Harapan Pak Jokowi untuk mendobrak sikap monoton dan rutinitas dan mengajak stafnya untuk tidak ’’sending-sending’’ saja, tetapi harus ’’make delivered’,’ rasanya menjadi peluang yang bisa mempertemukan komunikasi Pak Jokowi dengan kaum milenial yang makin mendominasi masyarakat.
Pertemuan komunikasi dengan saling memahami akan menjadi jalan baru yang berprospek. Jalan baru itu setidaknya harus mengubah tata kerja penguasa untuk mau di
sending-i dan mau men-delivered pesan kaum milenial.
Tatkala terdapat kemauan untuk saling mendengarkan, saling memahami, saling berdialog, peluang berkolaborasi akan menjadi energi besar bagi perwujudan mimpi Indonesia maju menjadi kenyataan. Semoga.