Kenapa Kita Tak Bisa Mengabaikan Pilwali
SAYA sehaluan dengan Jawa Pos yang telah mengundang para akademisi Unair dan hendak woro-woro bagi kampus lainnya untuk bersumbangsih mencari rujukan figur wali kota Surabaya setelah Ning Risma (Tri Rismaharini) lengser kamulyan.
Urusan pilwali tidak elok diabaikan warga kota. Santri, kuli, kiai, ilmuwan, hartawan, wartawan, seniman, pekerja, pengacara, pengamat, juru parkir, juru kunci, juru pikat, juru demo, juru dakwah, dosen, dukun, dagelan, kaum gedongan, sampai kaum jalanan, semua harus terpanggil urun rembuk menentukan sosok puncak di Kota Pahlawan. Siapa saja yang menghirup oksigen dan mengais kehidupan di kota ini diniscayakan memanggul peran dalam pilwali.
Kota ini terlalu angkuh apabila hanya didominasi pemodal yang tidak mendengar suara batin Surabaya. Gedung-gedung tinggi kian menjulang dan ritel-ritel mendesak ke luar gelanggang toko pracangan. Secara ekologisplanologis, bangunan itu menjadi ’’slilit’’ yang sangat problematis. Slilit yang berupa ’’seserat benda sisa makan seperti daging, sekecil apa pun, di sela gigi, amat mengguncangkan organisme, bahkan metabolisme tubuh. Seru bukan?
Surabaya telah tampil kinclong, tetapi bukan berarti tanpa masalah yang ’’tersembunyi’’ di balik panggung perkotaannya. Semua orang menyaksikan lagak keseharian Surabaya yang begitu meriah digeber. Bebunyian dan tarian kian bertalu dalam balutan parade yang memesona setiap ada momen penting.
Ajang jajanan ataupun fashion show dipanggungkan seiring dengan tawaran belanja penuh diskon. Di sini laku perkotaan menyeruak di bentara warganya setarikan napas gemerlap wajah metropolitan. Jargon Sparkling Surabaya menawarkan mimpi seperti dirumuskan Frans Kafka (1883-1924) sebagai realitas yang belum mampu dijangkau konsepsi.
Sinar terang jalanan dan kerlapkerlip lampu yang memantul dari gedung-gedung tinggi seolah berbisik menyapa penghuninya: ’’dari sinilah kita dapat berkisah’.’ Pembangunan digencarkan dengan apartemen dan hotel serta jalan lingkar yang menyisir setiap jengkal. Konfigurasi taman-taman indah dan tersusunnya betonbeton ’’perkasa’’ yang tersebar semakin meneguhkan supremasi Surabaya yang merepresentasikan ’’living the global city’’ sebagaimana diulas John Eade (1997).
Surabaya. Sebuah kota yang telah dikelola dengan menawarkan beragam kemudahan Dosen Fakultas Hukum dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
dan memberikan bingkai green city untuk dikualifikasikan sebagai ruang tinggal yang memenuhi persyaratan berkelas internasional, our urban future dalam telisik The Worldwatch Institute (2007). Ini merupakan puja puji yang sepatutnya didapat Surabaya dengan catatan kota ini tetap harus dieja lebih cermat di tengah banyak orang yang membacanya terlalu cepat.
Kota ini menyuguhkan pula gambaran harga diri yang terkoyak. Laju pengingkaran karakter kota kian kencang. Simaklah bagaimana jati diri kawasan dihilangkan dengan menghadirkan nomenklatur baru yang didorong menjadi simbol modernitas. Penyaplokan nama secara terencana mewabah oleh investor yang gagap kearifan lokal. Sungguh keperihannya dirasakan mereka yang masih memegang teguh asal usul daerahnya.
Properti di koordinaat Lontar, Lakarsantri, yang merembet ke areal Pakal dan Benowo bukan Lakarsantri Land. Bahkan, patung yang berdiri bukanlah lambang ’’Suro-Boyo’’, melainkan ’’Singa Duyung’’. Sejak kapan legenda Singa Duyung didongengkan dalam rekam jejak Surabaya? Ruang Wonokromo dan Ketintang tergolek ’’pasrah’’ atas hadirnya pertokoan yang tidak mengusung atribut ’’Ketintang Plaza’’. Beragam segmen wilayah di kota ini mengalami amputasi yang dalam jangka panjang menciptakan amnesia sejarah bagi anak cucu kita. Akankah warga kota ini esok hari menjadi orang asing seperti yang terekam dalam novel apik Albert Camus (1913-1960) L’Etranger (The Outsider).
Jika kondisi tersebut dibiarkan, masihkah arek-arek Surabaya mengenali kotanya secara maknawi? Mereka kuyakini tidak akan mengerti kisah nyanyian Burung Bibis di wilayah Tandes, tidak merengkuh sejuknya Tanjungsari, dan tidak merasakan segarnya air kehidupan Banyu Urip karena semua sedang dibox culvert.
Memang, Surabaya harus tampil menarik secara humanis, ekologis, planologis, sosial, dan yuridis. Tiba saatnya merenungkan sengkurat sisik melik Surabaya. Saya percaya kita semua tidak hendak sekadar mampu bertutur mengenang kota ini laksana berimajinasi dalam Memories of a Lost World
yang ditulis Charlotte Fiell & James R. Ryan (2011) atau novel provokatif Maxim Gorky The Life of A Useless Man (1990). Kenangan atas kota ini, meminjam bahasa Maxim Gorky, terputus oleh ’’pecundang’’ sosioeko-antropologisnya. Inilah catatan yang kerap luput dalam perbincangan pesta kota. Membiarkan Surabaya berjalan sendiri tanpa ditemani kritik sama dengan merelakan kota ini mengalami tragedi. Sliliten.