Koreksi dari Pilkada dan KPU
PATUT disyukuri. Sepekan setelah pilkada serentak 27 Juni, suasana tetap tenang dan ayem. Riak-riak tak sampai menjadi gelombang kegalauan besar. Juga, pembicaraan tentang pilkada berangsur-angsur berkurang. Publik sudah beralih dari kotak suara ke kotak penalti. Siapa yang melaju di Piala Dunia, siapa yang pulang. Sambil menyebar memememe kocak, kita menggunjing Ronaldo, Messi, Suarez, Pogba, Oezil, Salah, Lukaku, Shaqiri… Ah, cerianya kita jadi bangsa penonton!
Tanda baik juga tecermin dari kecenderungan semua pihak merasa menang. Memang satu kelompok menilai kelompok lain kalah. Namun, yang kalah ternyata tetap merasa menang. Kalah di level pilgub, merasa menang di level pilbup atau pilwali. Statistiknya cukup membingungkan. Sebab, koalisinya juga tak memakai galur ideologi, melainkan galur pragmatis, insidental, bahkan aksidental. Tak heran, semua merasa punya alasan menang.
Yang tak kalah mengherankan, mengaitkan pilkada dengan Pilpres 2019, semua juga merasa menang. Baik pihak ”dua periode” maupun kubu ”ganti presiden”. Suasana kebatinan itu cukup baik. Kedua pihak optimistis. Satu pihak yakin Jokowi meneruskan masa jabatan keduanya. Di sisi lain, pihak ganti presiden merasa akan punya presiden baru, meskipun sosoknya belum terlalu jelas (pendaftaran pilpres 4–10 Agustus, sebulan lagi).
Sedangkan pihak yang mungkin terguncang kredibilitasnya adalah lembaga-lembaga survei. Mereka jadi gunjingan karena hasil pilkada meleset dari hasil survei sebelumnya. Margin
of error-nya meleset dari asumsi 2–5 persen ke 20–30 persen. Error banget. Lembaga-lembaga survei boleh membela diri. Namun, mengaku keliru sebenarnya baik juga. Keliru kan boleh, asal tak berbohong (dan berprasangka).
Intinya, demokrasi kita makin matang. Hasil pilkada menunjukkan koreksi-koreksi. Misalnya, banyak calon dinasti yang kalah. Artinya, dinasti makin ditolak masuk ke urusan ”dinas”. Kalau kandidat benar-benar tak kredibel, rakyat juga antusias melawannya, sekalipun harus memilih kotak kosong. Kaum perempuan makin diterima sebagai pimpinan daerah. Di Jatim, gubernur terpilih perempuan dan sembilan bupati/wali kota juga kaum hawa. Vox populi vox bellus.
Suara rakyat suara si cantik.
Memang masih banyak yang perlu diperkuat dalam demokrasi kita. Peraturan KPU melarang kandidat legislator dari mantan koruptor, predator seksual anak, dan mantan bandar narkoba. Secara moral, regulasi itu layak dipertahankan, meski pemerintah meributkannya. Mari kita jaga agar demokrasi kita makin terhormat. (*)