Boleh Gugat ke MK asal...
HASIL pemungutan suara pilkada se-Indonesia hari ini masih berpotensi digugat. UU Pilkada memberikan ruang bagi paslon yang kalah untuk mengajukan sengketa hasil pemungutan suara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, syarat untuk bisa menggugat hasil pilkada tidak mudah
Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan, syarat yang paling diperhatikan MK adalah selisih suara. UU Pilkada mengatur jumlah selisih suara yang bisa disengketakan ke MK. Setiap daerah bisa berbeda syaratnya, bergantung kepada jumlah penduduk di setiap daerah. Baik provinsi, kota, maupun kabupaten.
’’Untuk provinsi yang jumlah penduduknya di bawah 2 juta, selisih suara yang bisa digugat maksimal 2 persen,’’ terangnya saat ditemui di Hotel ShangriLa Surabaya kemarin (26/6). Sedangkan daerah dengan jumlah penduduk di atasnya mensyaratkan selisih suara yang bervariasi. Mulai 1,5 persen hingga 0,5 persen (lihat grafis). Untuk Jatim, Jabar, Jateng, Sulsel, dan provinsi lainnya yang berpenduduk di atas 12 juta jiwa, selisih suara yang bisa disengketakan adalah 0,5 persen dari total suara sah.
Begitu pula di level kabupaten/ kota. Bila jumlah penduduk di bawah 250 ribu jiwa, selisih suara yang bisa disengketakan adalah 2 persen. Sementara itu, untuk Kabupaten Malang yang penduduknya di atas 1 juta jiwa, selisih suara yang bisa disengketakan hanya 0,5 persen. ’’Bila suara paslon 1 dan 2 berselisih 5 persen, misalnya, tidak bisa diajukan sengketa,’’ lanjut alumnus SMAN 9 Surabaya itu.
Meski demikian, biasanya sejumlah paslon masih nekat menggugat meski selisih suaranya melebihi batas. Padahal, mereka pada dasarnya sudah mengetahui syarat pengajuan sengketa tersebut. ’’Siapa pun mencoba mencari peluang. Mereka berharap agar majelis menilai hal lain di luar angka matematis itu,’’ tuturnya.
Misalnya, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama proses pilkada yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Padahal, pelanggaran itu tidak berkaitan dengan hasil penghitungan suara. ’’Proses itu seharusnya diajukan sebelum penetapan hasil,’’ tambahnya.
Pada akhirnya, keputusan berada di tangan majelis hakim. Pada praktiknya, selama ini hanya yang berselisih suara sesuai dengan syarat yang perkaranya dilanjutkan MK hingga ke tahap pembuktian. Selebihnya dinyatakan gugur sejak awal.