Cegah Paham Radikal Menyusup ke Birokrasi
RANGKAIAN teror di Surabaya dan daerah lain membuka mata bahwa radikalisme sudah merasuk ke banyak lini. Termasuk di lingkungan birokrasi. Padahal, seharusnya seluruh aparatur negara berkomitmen mengabdi kepada bangsa dan negara.
Di Probolinggo, misalnya, diamankan seorang terduga teroris yang berprofesi guru PNS di salah satu SMK
J
Kemudian, di Surabaya diamankan terduga teroris yang ternyata suami PNS Kantor Kemenag Surabaya. Berikutnya, seorang kepala SMP negeri di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat, ditetapkan sebagai tersangka karena mengunggah status di medsos. Status itu berisi seolah-olah aksi bom di Surabaya sebuah rekayasa dengan maksud tertentu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, pihaknya sudah memiliki beberapa program untuk menangkal radikalisme di sekolah. Yang dilakukan pertama adalah menjalankan program penguatan pendidikan karakter. ”Sekolah harus memiliki manajemen untuk aktivitas belajar, baik ketika siswa di sekolah maupun di luar sekolah,” ungkapnya.
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi sudah lama mencium adanya gejala radikalisme di lingkungan pendidikan. Gejala radikalisme itu diawali dengan sikap eksklusivisme, baik oleh guru maupun para siswanya. ”Kalau saya sebutkan contohcontohnya, itu sensitif. Intinya, eksklusivisme itu sebaiknya dihindari,” tuturnya.
Sebab, dengan adanya jiwa eksklusivisme tersebut, akan tertanam bahwa yang berbeda dengan dirinya adalah sebuah kesalahan. Padahal, di dalam perbedaan atau keragaman itu harus dipupuk saling menghormati dan menghargai. Dia berharap, dalam pelatihan guru maupun kegiatan-kegiatan kesiswaan, tetap dimasukkan nilai-nilai menghormati keragaman.
Anggota Komisi X Hetifah Sjaifudian menuturkan, orang tua dan guru harus bisa melindungi lingkungan belajar dari pahampaham radikal. Salah satu caranya adalah menyampaikan materi yang tepat oleh guru dan orang tua. ”Guru harus memiliki wawasan yang luas,” tuturnya. Salah satu cara yang diusulkan Hetifah adalah mengirim belajar guruguru ke beberapa negara. Selain itu, diadakan pertukaran guru di Indonesia. ”Sehingga tahu kalau Indonesia itu beragam. Tidak sama. Harus terus mengedukasi agar menerima perbedaan tersebut,” imbuhnya.
Selain itu, dia ingin mendorong Kementerian Ristekdikti untuk melakukan banyak penelitian terkait radikalisme. Bahkan, jika perlu, diadakan pendidikan khusus yang mempelajari terorisme. ”Sehingga kita memiliki justifikasi akademis tentang terorisme ini,” ungkapnya.
Adanya penelitian yang lebih banyak mengenai radikalisme dan teroris juga dapat menangkal berita-berita bohong di masyarakat. Sekarang ini dia merasa riset tentang radikalisme dan teroris sangat kurang. ”Kita teliti motivasi keluarga yang terlibat teror, motivasinya, cara rekrutnya seperti apa. Agar kita memiliki studi yang bagus,” ujarnya.
Pendidik yang terlibat radikalisme, menurut dia, perlu mendapat sanksi. Hal tersebut juga berlaku bagi pendidik yang menyebarkan berita yang mendukung radikalisme dan teroris. Itu menjadi terapi kejut.
”Namun, yang sebenarnya lebih baik adalah mengantisipasi. Jangan sampai setelah ada kejadian, baru diberikan sanksi,” ungkapnya.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) juga terus mengampanyekan supaya aparatur negara menghindari ungkapan atau ujaran kebencian. Khususnya melalui media sosial. Sebab, itu bisa berujung pada pelanggaran disiplin sebagai seorang PNS. Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan mengungkapkan, ada enam aktivitas ujaran kebencian yang bisa berujung sanksi disiplin.
Misalnya, menyampaikan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah. Kemudian, penyampaian ujaran kebencian kepada salah satu suku, ras, agama, atau golongan.
”Bukan hanya itu. Menyebarluaskan ujaran kebencian melalui share, upload, retweet, broadcast WA, atau repost Instagram juga pelanggaran,” tuturnya. Kemudian, mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah juga tidak boleh.
Ridwan mengatakan, pimpinan satuan kerja atau instansi diharapkan sering-sering memantau aktivitas media sosial pegawainya. Tujuannya, mereka bisa menemukan dan mencegah agar ujaran kebencian tidak meluas. Selain itu, sanksi bagi PNS yang melakukan ujaran kebencian mulai sedang sampai berat berupa pemberhentian sebagai PNS.