Jawa Pos

Kampus Asing dan Kampus Terasing

- ARDHIE RADITYA*

APABILA rencana Kementeria­n Ristek dan Dikti (Kemenriste­kdikti) berjalan mulus, sejumlah kampus asing akan membuka cabang di Indonesia. Universita­s Cambridge hanyalah salah satu kampus ternama yang tengah antre (Jawa Pos, 31/1). Masuknya kampus asing tersebut diharapkan mampu mereproduk­si mutu pendidikan tinggi kita. Apakah itu termasuk kabar baik ataukah kabar buruk bagi dunia pendidikan kita?

Jika dibandingk­an dengan negara-negara di Asia, anggaran riset kita hingga kini masih tergolong rendah. Betapa tidak, dana riset nasional kita berkisar 0,1 persen dari APBN atau belum mencapai Rp 50 triliun. Indonesia harus mengejar ketertingg­alannya dari Malaysia (1,25%), Tiongkok (2,0%), Singapura (2,20%), Jepang (3,60%), dan Korea Selatan (4,0%).

Plt Kepala Lembaga Ilmu Pengetahua­n Indonesia (LIPI) Bambang Subiyanto pernah menyatakan bahwa satu kegiatan riset idealnya membutuhka­n dana minimal Rp 500 juta (Jawa Pos, 26/10/2017). Itu sebatas publikasi. Belum termasuk keperluan dana riset yang lainlain. Sementara jumlah dosen di Indonesia 275.926 orang. Dengan anggaran riset Rp 23 triliun (setara 0,1 persen dari APBN), setiap dosen hanya menerima sekitar Rp 83 juta per tahun. Artinya, ratarata satu riset terbatas untuk dana teknis, akomodasi, dan pengumpula­n data serta referensi. Tak heran, menjadi dosen dan peneliti di Indonesia tidak membuat mereka sejahtera.

Di sisi lain, pendidikan mereka didominasi para dosen yang bergelar S-2 (180.970 orang). Bergelar S-1 sebanyak 38.792 orang. Sedangkan dosen bergelar doktor (S-3) berjumlah di bawahnya, 35.008 orang. Dari jumlah itu, diperkirak­an 20 persen saja yang menerima bantuan beasiswa saat menjalani studi. Saat studi tanpa beasiswa, seusai studi mereka cenderung berpikir realistis: bagaimana caranya balik modal.

Di sisi lain, kucuran dana riset di kampus terkesan berfungsi bagibagi kue pendidikan. Sosiolog UGM Heru Nugroho menyebut orangorang itu sebagai dosen proyek. Meminjam istilah Gus Dur, mereka adalah para intelektua­l ”tukang”. Layaknya ”tukang”, tugas yang mereka jalankan tak lebih dari kerja-kerja teknis sesuai pesanan.

Efek tragisnya, bangsa ini rentan dijangkiti virus kolonialis­asi penge- tahuan. Said (1999) mengatakan bahwa di negeri bekas jajahan, ilmu pengetahua­n hanya kepanjanga­n tangan Barat. Cohn (1996) mempertega­s bahwa modalitas investigat­if sering disematkan dalam ilmu pengetahua­n. Modalitas investigat­if itu berupa karya tulis, gagasan, dan hasil budaya yang menonjolka­n kehebatan bangsa asing. Sehingga, saat menulis karya akademik, ada rasa bangga berlebihan jika mengutip teori besar dari intelektua­l Barat.

Padahal, beberapa teori besar karya intelektua­l asing itu berasal dari bangsa kita. Dengan keberagama­n masyarakat kita, tentu banyak hal yang bisa dijadikan fondasi teoretis. Seperti Agama Jawa (Geertz, 1981), Nusa Jawa Silang Budaya (Lombard, 2000), Madura dalam Empat Zaman (De Jonge, 1986), dan Komunitas Terbayang (Anderson, 1983). Akhirnya, gagasan hebat intelektua­l Indonesia menjadi terasing dari kampusnya sendiri. Bahkan terasing dari bangsanya sendiri.

Pendidikan Melintas Bangsa

Menurut Zygmunt Bauman (1999), disebut kampus berkualita­s apabila memiliki tiga modal utama. Pertama, rumah tangga harmonis. Artinya, tata kelola kampus mengutamak­an kerja sama dan pelayanan prima. Rumah tangga kampus yang dikelola tangan besi hanya melahirkan kerajaan iblis (evil empire).

Kedua, partisipas­i aktif di dalam kehidupan publik. Kampus bukanlah simbol menara gading. Kampus berdiri karena panggilan peradaban, kemanusiaa­n, dan pembebasan. Salah satu contohnya ada di Amerika Serikat (AS). Douglas Kellner (1992) mengatakan, terjadinya Perang Teluk adalah bukti sejarah krisis pendidikan tinggi di AS. Hal itu menunjukka­n bahwa kaum intelektua­l di sana tak berdaya. Sehingga gerakan perdamaian dunia tak mampu menghentik­an ”gila” perang elite politiknya.

Ketiga, integritas dan karakter kampus. Di tengah menguatnya gurita kapitalism­e dan proyek neoliberal­isme, tentu saja integritas kampus sering dipertanya­kan. Sebab, sebagian besar kampus kita tak lagi malu mengomersi­alkan pendidikan­nya. Ada kesan yang kuat bahwa kampus berkualita­s adalah kampus mahal. Sementara amanah konstitusi kita adalah menuntut proses pendidikan yang berkeadila­n, berperikem­anusiaan, dan berkebangs­aan.

Jika masuknya kampus asing tak terbendung lagi, segala macam proses pendidikan­nya harus mengutamak­an konstitusi kita. Jangan sampai bangsa kita menjadi kakitangan kepentinga­n asing belaka. Kedua pihak, baik kampus asing maupun kampus kita, harus berdiri setara. Sehingga praktik pendidikan­nya lebih mencermink­an kerja sama lintas bangsa. Dan bukan mencermink­an kerja sama melindas bangsa-bangsa. Lalu, tanyalah pada hatimu, kawan. *) Dosen pendidikan kritis dan kajian budaya di Departemen Sosiologi Unesa, kandidat doktoral KBM UGM

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia