Jawa Pos

Kemen PUPR Akan Evaluasi Tarif Tol

Jika Kemahalan dan Beratkan Masyarakat

-

JAKARTA – Tarif tol mahal, di atas Rp 1.000 per kilometer (km), tidak hanya terjadi di Jawa Timur (Jatim). Beberapa ruas tol baru di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta juga memiliki tarif selangit. Kementeria­n Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) akan membahas ulang tarif tol jika masyarakat memang membutuhka­n

J

Menteri PUPR Basuki Hadimuljon­o menyatakan, tarif tol dimungkink­an untuk diturunkan. ”Jika memang memberatka­n masyarakat, harus diturunkan,” katanya kemarin (31/1).

Memperpanj­ang masa konsesi adalah salah satu cara untuk menurunkan tarif tol. Mekanismen­ya, pemerintah akan melakukan evaluasi bersama badan usaha yang membangun tol. ”Kalau memang itu bisa diperpanja­ng, harus dibicaraka­n dengan BUJT (badan usaha jalan tol)-nya. Bisa saja. Bisa banget,” terangnya.

Wacana tentang penurunan tarif tol muncul setelah Gubernur Jatim Soekarwo mengeluhka­n sepinya ruas tol Surabaya–Kertosono Selasa lalu (30/1). Untuk melalui tol sepanjang 76,97 km itu, truk besar (kendaraan golongan V) harus membayar Rp 224 ribu. Sedangkan kendaraan pribadi harus membayar Rp 82 ribu.

Tarif selangit tersebut membuat truk angkutan barang enggan lewat tol. Tujuan dibangunny­a tol Surabaya–Kertosono untuk mengaksele­rasi perekonomi­an dinilai Soekarwo tidak tercapai karena tarif yang terlalu mahal itu.

Anggota Komisi V DPR Sungkono sependapat dengan Soekarwo. Menurut dia, selain tol Surabaya–Kertosono, ada beberapa tol lain yang tarifnya juga harus diturunkan karena terlampau mahal. Kalau tarif tidak diturunkan, masyarakat akan terusterus­an enggan lewat tol.

”Dampaknya, beban jalan yang diharapkan berkurang dengan adanya tol tidak terpengaru­h sama sekali. Tetap saja macet,” tutur Sungkono kepada Jawa Pos kemarin.

Selain tol Surabaya–Kertosono, beberapa tol yang tarifnya mahal adalah tol Becakayu Seksi I-B dan I-C. Ruas tol sepanjang 8,26 km itu mematok tarif paling murah Rp 14 ribu untuk kendaraan pribadi. Ada juga ruas tol Medan–Binjai Seksi II dan III (Helvetia–Binjai) sepanjang 10,45 km yang tarifnya mulai Rp 10.500. Sedangkan ruas tol Semarang– Solo Seksi III (Bawen–Salatiga) sepanjang 17,6 km mematok tarif mulai Rp 17.500.

Kepala Biro Komunikasi Publik Kemen PUPR Endra S. Atmawidjaj­a mengatakan bahwa tarif- tarif yang telah ditetapkan tersebut sudah sesuai dengan Kepmen PUPR. Tarif tol, jelas dia, telah dihitung dengan saksama sebelum akhirnya diputuskan.

Ada beberapa komponen yang diperhatik­an saat menghitung tarif tol. Ada tanah, biaya konstruksi, biaya investasi, termasuk untuk memenuhi SPM (standar pelayanan minimum) selama masa konsesi. ”Ada komponen supply-demand. Demand-nya sendiri ditentukan dari ability to pay masyarakat,” terangnya.

Setiap ruas tol, lanjut Endra, bisa memiliki perhitunga­n yang berbeda-beda.Diamencont­ohkan ruas-ruas tol di Sumatera. Tarif ruas-ruas tol di sana bisa menjadi tinggi karena biaya konstruksi­nya memang tinggi.

Sementara itu, tarif ruas tol Becakayu dinilai terlalu tinggi untuk panjang tol yang tidak seberapa karena sistem tolnya terbuka. Dengan sistem terbuka, tarif tol yang dikenakan flat. Tarif yang berlaku sekarang merupakan tarif hasil perhitunga­n untuk keseluruha­n jalan tol sepanjang 21,06 km dari Bekasi ke Kampung Melayu.

Kalangan pengusaha menyam- but baik jika nanti pemerintah mengevalua­si tarif beberapa ruas tol. Sebab, tarif tol dan solar menjadi komponen penting dalam aktivitas pengiriman barang. ”Kami berharap pemerintah memperhati­kan. Supaya semua pihak bisa puas dengan penetapan tarif tol yang berlaku,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Kamdani kemarin.

Pengusaha, imbuh Shinta, mendukung kehadiran ruas-ruas tol baru yang tengah diakselera­si pemerintah. Infrastruk­tur tersebut menunjang jangkauan distribusi. ”Pengusaha saya rasa mau membayar tarif jika memang terbukti lewat tol lebih efisien.”

Ketua Umum Organda Adrianto Djokosoeto­no berharap pemerintah dapat membuat perhitunga­n yang saksama. ”Sebenarnya salah satu hidden cost yang besar adalah kemacetan. Jadi, harus dihitung saksama dan situasiona­l juga. Ada satu contoh ruas yang dirasakan berat. Seperti tol Surabaya–Kertosono sepanjang 97 km harganya Rp 225 ribu. Ongkos angkut kami per ton per kilometer hanya Rp 600, sedangkan tolnya lebih dari Rp 1.000 per kilometer,” paparnya.

Sopir Pilih Berhemat Dari jalur pantai utara (pantura), beberapa sopir mengaku lebih memilih lewat jalur non-tol gara-gara tarif tol yang terlalu mahal. Lewat tol membuat pengeluara­n membengkak dua kali lipat.

Hadi Suprayitno misalnya. Pria 50 tahun itu biasa mengirim keramik dari Mojosari, Jatim, ke Jakarta. Sepanjang perjalanan, Hadi melewati beberapa ruas jalan tol. Total, dia menghabisk­an Rp 300 ribu hanya untuk tol. ”Padahal, kalau dibelikan solar, Rp 500 ribu saja udah sampai Jakarta,” ucapnya kemarin.

Melewati jalan tol hanya menghemat waktu. Untuk bahan bakar, ungkap Hadi, hanya selisih sedikit keuntungan­nya. ”Paling cuma lebih irit 10 liter, kalau diuangkan Rp 50 ribu,” katanya. Alhasil, kecuali sangat terburubur­u, para sopir lebih memilih lewat jalur bawah (pantura). Mereka bisa menghemat uang ratusan ribu rupiah yang sangat berharga bagi mereka.

Ada faktor lain yang membuat sopir enggan lewat tol. Yakni, fasilitas rest area sangat minim. Itu terjadi di ruas tol Cikopo–Palimanan (Cipali). Rest area yang sangat jauh membuat mereka akan kesulitan jika mengalami ban bocor atau mesin ngadat.

Darsono, rekan Hadi sesama sopir, memiliki pendapat yang sama. Dia menyebut tol Cipali sebagai yang termahal. Sekali lewat, truk satu sumbu bisa menghabisk­an Rp 175 ribu. Sedangkan truk tronton dengan dua sumbu harus merogoh kocek Rp 234 ribu. ”Menurut kami mahal. Lebih baik lewat bawah (pantura, Red),” ujarnya.

 ?? GRAFIS: ERIE DINI/JAWA POS ??
GRAFIS: ERIE DINI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia