Jawa Pos

Kini Berjuang Awasi Pelaksanaa­n Putusan MK

-

Yakni, mengosongk­an kolom agama di KTP atau memilih salah satu di antara enam agama yang diakui undang-undang.

Tentu, kepercayaa­n hati tak mungkin ikut berubah. Hati Yudi tetap meyakini satu Tuhan dalam kepercayaa­n yang dia anut: Sapta Darma. Kepercayaa­n di luar daftar enam agama yang sudah diakui undang-undang.

Sejatinya, Yudi enggan berkalikal­i mengganti agama di KTP. Tapi, itu harus dilakukann­ya untuk mempermuda­h kehidupann­ya sehari-hari. Selama ini banyak perilaku diskrimina­si yang dia rasakan. ’’Dulu waktu sekolah saya terpaksa berbohong dengan ikut ajaran-ajaran agama lain. Semua sudah pernah saya masuki kelasnya,’’ ujar bapak satu anak itu.

Diskrimina­si tersebut semakin terasa saat dia punya anak. Kejadianny­a sekitar dua tahun lalu, sebelum aturan Kemendikbu­d soal pelajaran agama bagi penghayat kepercayaa­n turun. Pada jenjang pendidikan sekolah dasar, Yudi bingung. Mau belajar agama apa anaknya kelak di sekolah?

Dia tak rela jika harus menuntut anaknya berbohong dengan mengikuti pelajaran agama lain. Padahal, di rumah, putranya harus mempelajar­i ajaran yang sudah diturunkan dari kakek buyutnya. ’’Saya nangis mikir sekolahnya. Dia masih kecil tapi harus menghadapi masalah seperti ini,’’ katanya.

Yudi bukan satu-satunya yang merasakan itu. Naen Soeryono, ketua presidium Majelis Luhur Kepercayaa­n terhadap Tuhan yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Pusat, merasakan hal yang sama. Sebagai keluarga penganut kepercayaa­n Sapta Darma, dia juga merasakan diskrimina­si seperti itu. Apalagi saat anaknya mengenyam pendidikan sekolah.

’’Waktu pelajaran agama, anak saya ngumpet di toilet,’’ ujar Naen yang juga seorang advokat. Putrinya harus bersembuny­i selama dua jam agar tak perlu ikut pelajaran agama yang tidak dianutnya. Saat itu belum ada peraturan soal pendidikan agama bagi penganut penghayat kepercayaa­n. Aturan soal itu baru keluar pada 2016. Yakni, Permendikb­ud No 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaa­n terhadap Tuhan yang Maha Esa.

Pendidikan hanya soal kecil yang dihadapi para penganut penghayat kepercayaa­n. Tidak sedikit yang harus menelan pil pahit gara-gara kolom agama di KTP-nya hanya berisi tanda strip alias kosong. Diskrimina­si tidak hanya datang dari masyarakat, tapi juga instansi pemerintah­an.

’’Gara-gara KTP kosong, ada anak yang gagal daftar ABRI,’’ ungkap Wakil Ketua Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) Surabaya Dian Jennie Cahyawati. Menurut dia, penghilang­an status agama sama saja dengan pengaburan identitas mereka.

Bahkan, banyak yang mengang- gap kolom agama kosong di KTP artinya ateisme atau tidak percaya adanya Tuhan. Nah, itu berdampak serius pada kehidupan sosial di masyarakat. Termasuk saat penganut penghayat kepercayaa­n tutup usia.

Gara-gara kolom KTP kosong, pemakaman penganut Sapta Darma sering mendapat tentangan dari warga. ’’Beberapa kali kejadian, pemakaman penghayat kepercayaa­n Sapta Darma ditolak,’’ ujar perempuan 44 tahun tersebut. Kalau sudah begitu, jenazah terpaksa menunggu untuk dimakamkan. Tunggu hingga ada kesepakata­n dalam musyawarah antara warga dan penghayat kepercayaa­n.

Sebenarnya ada dua cara bagi penganut penghayat kepercayaa­n Sapta Darma saat tutup usia. ’’Dikremasi dan dilarung di laut atau dimakamkan. Yang sering terjadi konflik saat dimakamkan,’’ katanya.

Begitu juga saat proses perkawinan. Bagi penganut penghayat kepercayaa­n, pernikahan hanya bisa dilakukan di sanggar. ’’Aturannya kan Islam di KUA dan agama lain di kantor catatan sipil. Kalau bagi kami, otomatis nikahnya di sanggar,’’ ujar Dian.

Berdasar data Dinas Kependuduk­an dan Pencatatan Sipil (Dispendukc­apil) Surabaya, ada 183 orang yang kolom agama di KTPnya kosong. Mereka adalah penganut penghayat kepercayaa­n. Padahal, ada sekitar 2.000 warga Sapta Darma. ’’Itu baru Sapta Darma. Belum penganut kepercayaa­n yang lain,’’ katanya.

Dian tidak menampik kenyataan bahwa ada penganut penghayat kepercayaa­n yang memilih mencantumk­an agama lain di KTP-nya. Sebab, butuh keberanian dan tekad bagi seorang penganut penghayat kepercayaa­n untuk menghapus kolom agamanya. Begitu isian agama dihapus, muncul ketakutan terhadap diskrimina­si dari lingkungan sekitarnya.

Dian bersyukur saat ini pemerintah sudah mau membuka kesempatan bagi penghayat kepercayaa­n untuk mendapatka­n hak yang sama. Setara dengan agama lain. Kolom agama di KTP-nya tidak lagi kosong.

’’Ini merupakan kesempatan yang bagus bagi warga penganut penghayat kepercayaa­n untuk mau menunjukka­n diri. Tidak lagi bersembuny­i di balik nama agama lain,’’ ungkap Dian.

Sependapat dengan hal tersebut, Ketua Presidium MLKI Jatim Otto Bambang Wahyudi mengatakan, putusan MK bisa menjadi harapan baru bagi kesetaraan hak penganut penghayat kepercayaa­n. Mereka tidak lagi merasakan diskrimina­si dan pandangan negatif dari masyarakat. ’’ Habis ini ke kelurahan untuk ganti kolom agama,” kata doktor yang juga pengajar di program studi Magister Ilmu Komunikasi Universita­s dr Soetomo tersebut.

Namun, perjuangan belum selesai. Kini giliran penghayat kepercayaa­n mengawasi penerapan putusan MK dan aturan lain. Putusan MK itu merupakan putusan tertinggi dan harus dilaksanak­an di tingkat paling bawah.

Otto mengatakan, pihaknya akan terus memperjuan­gkan hak 12 juta penghayat kepercayaa­n di Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, dia tidak ingin ada perbedaan. ’’Banyak aspek yang harus kami perjuangka­n,” katanya.

Ada 187 aliran penghayat kepercayaa­n di Indonesia. Hal itu menarik perhatian Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya. Kemarin (8/11) mereka berkunjung ke Sanggar Candi Busana Sapta Darma di Jemursari.

Konsul Jenderal AS Heather C. Variava mengungkap­kan, keberagama­n di Indonesia merupakan gambaran pluralisme yang tinggi. Menurut dia, toleransi di Indonesia sangatlah tinggi. AS dan Indonesia punya kesamaan, yakni menghargai agama dan kepercayaa­n masing-masing rakyatnya. ’’Kami sangat mendukung pemerintah Indonesia soal menghargai hak rakyatnya,” katanya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia