Belum Pahami Ujaran Kebencian
PENANGANAN maraknya ujaran kebencian di ruang publik hingga kini masih merupakan persoalan pelik. Salah satu masalah utamanya, isu ujaran kebencian belum secara baik dan jelas dipahami. Tidak se dikit orang yang belum bisa mem bedakan mana bentuk ekspresi dan mana yang bukan. Kekaburan dan bahkan persepsi yang keliru di dalam memahami ujaran kebencian menimbulkan persoalan baru. Tentu saja, adanya perhatian yang semakin besar atas isu ujaran kebencian dan langkah tegas pemerintah sebagai perkembangan positif.
Meski demikian, penanganan maraknya ujaran kebencian membutuhkan kehati-hatian. Penanganan yang semena-mena bisa membuka pintu celah bagi pemberangusan kebebasan berekspresi, atau disalahgunakan oleh penguasa atau pemerintah untuk merepresi oposisi.
Kebebasan berekspresi adalah hak asasi yang telah dijamin dan memiliki makna esensial dalam demokrasi.
Dalam perspektif HAM, ada beberapa tipe ekspresi yang bisa dilimitasi di mana ujaran kebencian tercakup salah satunya. Tipe ekspresi ini juga dikategorikan sebagai tindak pidana.
Secara konseptual, ujaran kebencian sering dirujuk sebagai bentuk ekspresi (tulisan, ucapan, bahasa gestur, atau pidato) yang bisa mendorong atau menghasut kebencian terhadap anggota suatu kelompok tertentu atas dasar identitasnya.
Ada dua unsur utama dalam ujaran kebencian. Pertama, kebencian ( hate), yakni emosi yang kuat dan irasional yang berbentuk penghinaan, permusuhan, dan kebencian terhadap individu atau kelompok yang dijadikan target lantaran memiliki karakteristik tertentu yang dilindungi (diakui hukum internasional) seperti ras, warna kulit, agama, keturunan, adat, suku bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual. Kedua, pidato atau perkataan ( speech), yakni setiap ekspresi untuk menyampaikan pendapat atau ide –membawa pendapat atau ide internal ke publik– yang dapat dilakukan melalui berbagai bentuk: tulis, nonverbal, visual atau artistik, dan dapat disebarluaskan melalui internet, barang cetak, radio, atau televisi. Dan bahkan, kalau kita merujuk pada penjelasan normatif pasal 20 ayat (2) Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005, konsep ujaran kebencian dirumuskan lebih ketat lagi. Selain kedua unsur utama di atas, suatu ekspresi bisa disebut sebagai ujaran kebencian mensyaratkan adanya unsur ’’hasutan’’ yang bisa mendorong orang lain bertindak.
Sebab itu, bisa disimpulkan tidak semua bentuk ekspresi kebencian bisa dikategorikan sebagai ’’ujaran kebencian’’. Esensi konsep ujaran kebencian bukan merujuk pada ekspresi kebencian yang sifatnya umum, tetapi ekspresi kebencian yang mendorong orang untuk melakukan diskriminasi atau kekerasan berdasar alasan SARA. Sejauh dua unsur dan tidak adanya hasutan, suatu ekspresi tidak bisa diidentifikasi dan dikategorikan sebagai ujaran kebencian.
Berbagai studi atau kajian juga mengungkapkan ranah ujaran kebencian dalam hubungan sosial. Dilihat dari sasarannya, korban ujaran kebencian bisa merupakan individu ataupun kelompok oleh karena latar belakang identitas yang dimilikinya (SARA).
Dengan demikian, secara konsep dan praktik tidak dikenal ujaran kebencian berdimensi vertikal terhadap pemerintah. Apalagi pada 2007 Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah mencabut pasal 154 dan pasal 155 KUHP tentang ujaran kebencian terhadap pemerintah. Delik ini dikhawatirkan menjadi instrumen politik untuk merepresi kritik publik terhadap pemerintah. (*)