Reduksi Lebih Banyak, Dapat Untung ketika Dijual
Sampah organik tak hanya diolah menjadi kompos. Di tangan tim Forward, sampah organik bisa direduksi lebih banyak dengan menggunakan belatung. Keuntungannya lebih banyak karena hasil jual belatung lebih tinggi.
BAU busuk tercium saat memasuki markas from organic waste to recycling for development (Forward) di Puspa Agro, Jemundo, Taman. Pada lahan yang ditempati para peniliti rekanan Eidgenössische Anstalt für Wasserversorgung, Abwasserreinigung und Gewässerschutz (EAWAG) alias institut sains dan teknologi akuatik Swiss itu, terdapat ratusan kilogram sampah buah dari Pasar Induk Puspa Agro.
Dengan pemandangan tak mengenakkan tersebut, Audinisa Fadhila tak keberatan. Menurut koordinator tim Forward itu, bau tersebut tidak sebanding dengan tempat pembuangan akhir (TPA) dan tempat pembuangan sementara (TPS) lainnya.
’’Di sini jauh lebih bersih daripada tempat penampungan sampah lainnya,’’ jelasnya.
Memang, jika dilihat lebih seksama, penampakan tempat penampungan sampah di situ cukup apik. Sampah ditampung dalam rak-rak plastik yang tertata rapi seperti barang di pabrik. Yang paling kentara, tidak terlihat lalat yang biasanya mengepung tempat pembuangan sampah.
Padahal, Teguh Rahayu dan Tina Kusumawardhani, anggota tim lainnya, harus menerima 500 kilogram hingga 1 ton sampah buah dari pasar induk setiap hari. ’’Nah, kuncinya ini,’’ ujar Audi, sapaan Audinisa Fadhila, sambil menunjuk tiga kandang yang berlapis kelambu.
Di dalamnya, terdapat ratusan lalat yang nyanggong pada kain tembus pandang itu. Sedikit saja digoyang, binatang tersebut beterbangan sambil mengeluarkan suara dengung yang lantang. Tapi, lalat di sana terlihat sedikit berbeda. Bentuk mereka sedikit memanjang dengan warna hitam pekat.
Itulah senjata rahasia sekaligus objek penilitian mereka. Namanya Black Soldier Fly (BSF). Audi menjelaskan, lalat tentara hitam tersebut berbeda dengan lalat lainnya. Serangga itu bukan vektor penyakit karena tak memakan sampah. ’’Nah, keberadaan mereka bisa meminimalkan lalat yang kerap ada di sampah kami,’’ ungkapnya.
Namun, bukan lalat tersebut yang membawa peruntungan, melainkan calon lalat yang masih berbentuk belatung. ’’Belatung itulah yang nanti menjadi andalan pemanfaatan sampah organik yang mengun- tungkan,’’ lanjutnya.
Belatung tersebut dimanfaatkan tim Forward untuk mereduksi sampah. Belatung itu bisa mereduksi sampai 80 persen berat sampah hanya dalam waktu dua minggu. Berbeda dengan pengomposan yang butuh minimal sebulan dan hanya 60 persen dari total sampah yang menjadi pupuk.
’’Jadi, kami bisa memproses lebih banyak daripada proses kompos. Sisa 20 persen yang kami makankan ke belatung juga bisa diproses untuk jadi kompos,’’ ungkap alumnus Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
Nah, lalu untuk apa belatung itu diberi makan? Layaknya penggemukan sapi, belatung tersebut memang akan dijual. Biasanya, belatung memang dibuat sebagai salah satu pakan ternak. Termasuk tambak ikan.
Sirajuddin Kurniawan, peneliti yang juga alumnus Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, pernah menguji coba hal itu. Dia memberikan belatung sebagai pakan alternatif ke kolam ikan warga setempat. ’’Memang, kalau tanpa proses, kualitasnya jauh dengan pelet yang biasa. Karena itu, sekarang ini kami proses jadi pelet supaya sama,’’ jelasnya.
Dengan begitu, pengelola sampah bisa meraup untung lebih banyak. Jika kompos hasil sampah organik hanya Rp 1.000 per kilogram, belatung tersebut bisa dijual Rp 2.500–Rp 5.000 per kilogram. ’’Apalagi jika ada yang usaha tambak ikan sekaligus ternak BSF. Otomatis biaya produksi mereka bakal turun drastis. Kan 80 persen biaya produksi adalah pakan,’’ paparnya. (*/c2/ai)