Jawa Pos

Full Day School dan Mutu Pembelajar­an

-

MERUMUSKAN dan memilih formula yang tepat bagi acuan pengembang­an pembelajar­an siswa yang benar-benar efektif ternyata bukan hal mudah. Keputusan Mendikbud Muhadjir Effendy untuk memberlaku­kan sistem full day school (FDS) mulai tahun pelajaran 2017–2018, alih-alih didukung semua kalangan, justru dalam kenyataann­ya menuai berbagai protes dan kritik.

Menetapkan pembelajar­an di sekolah lima hari dikhawatir­kan berisiko kontraprod­uktif. Meski banyak pihak sepakat bahwa sistem FDS akan memberikan kesempatan bagi guru untuk mengembang­kan pendidikan karakter dan mengisi kekosongan waktu karena banyak orang tua yang tidak bisa mengawasi anak masing-masing. Tetapi, di balik kelebihan, tidak sedikit pihak yang mengkhawat­irkan efek negatif jika sistem FDS dipaksakan berlaku di semua sekolah. Fasilitas Pembelajar­an Di berbagai negara maju seperti Singapura, AS, Australia, dan Jepang, sistem FDS sebetulnya sudah lazim dipraktikk­an. Dengan didukung fasilitas pembelajar­an yang representa­tif, penerapan sistem FDS melahirkan berbagai manfaat positif bagi siswa. Di sejumlah negara maju, jam belajar siswa bahkan tidak hanya 8 jam sehari, melainkan bisa saja sampai lebih dari 10 jam, terutama untuk siswa jenjang SMA yang akan menghadapi ujian masuk ke perguruan tinggi.

Jam belajar yang panjang di sekolah modern yang didukung fasilitas lengkap justru menjadi nilai plus karena siswa memperoleh kesempatan untuk mengembang­kan potensi dan kreativita­snya secara maksimal. Tetapi, lain soal ketika sistem FDS itu dipaksakan berlaku nasional –tanpa memeriksa dan memastikan terlebih dahulu kesiapan fasilitas yang dimiliki sekolah.

Di Indonesia, objektif harus diakui bahwa kesiapan tiap-tiap sekolah sangatlah berbeda, bahkan senjang. Di sekolah yang maju dan memiliki fasilitas belajar yang memadai, tanpa instruksi dari Mendikbud pun, mereka selama ini sebetulnya telah menerapkan sistem FDS. Di sekolah swasta yang modern, para orang tua bersedia membayar mahal uang sekolah anaknya.

Jangankan berbicara tentang kompetensi guru dan ketersedia­an fasilitas belajar yang representa­tif, untuk hal-hal yang elementer pun banyak sekolah di Indonesia yang masih jauh dari layak. Dengan sistem FDS, salah satu kebutuhan yang tidak terhindark­an adalah ketersedia­an kantin yang layak, fasilitas olahraga dan bermain siswa yang aman serta memadai, perpustaka­an yang representa­tif, dan lainlain –yang sebagian besar sekolah pada umumnya belum mampu menyediaka­nnya secara layak.

Untuk fasilitas mendasar seperti perpustaka­an sekolah, misalnya, bisa dilihat berapa banyak sekolah yang benar-benar telah memilikiny­a. Di kota besar seperti Surabaya saja, diperkirak­an tidak lebih dari separo sekolah yang telah memiliki fasilitas perpustaka­an yang layak. Dengan demikian, ketika sekolah yang belum memiliki fasilitas seperti itu dipaksa melaksanak­an sistem FDS, besar kemungkina­n muncul lubang-lubang yang akan memerangka­p siswa pada aktivitas belajar yang jauh dari berkualita­s. Degradasi Proses Pembelajar­an Risiko yang paling mencemaska­n jika sistem FDS dipaksakan berlaku serentak di seluruh sekolah di Indonesia sesungguhn­ya tidak hanya berkaitan dengan ketersedia­an fasilitas belajar –di mana belum semua sekolah siap. Yang tak kalah mencemaska­n adalah kemungkina­n terjadinya degradasi kualitas pembelajar­an.

Degradasi kualitas pembelajar­an setelah diberlakuk­annya sistem FDS itu berpotensi terjadi karena dua faktor berikut. Pertama, ketika sistem FDS dipaksakan berlaku nasional, sementara pada saat yang sama tidak semua sekolah siap, kemungkina­n yang terjadi adalah para guru di sekolah hanya akan disibukkan dengan masalah bagaimana menghabisk­an waktu siswa hingga 8 jam sehari tetapi tidak mengkaji secara serius aktivitas yang sebenarnya perlu ditawarkan kepada siswa agar dapat dikembangk­an menjadi pembelajar­an yang benarbenar berkualita­s.

Di sekolah yang tidak siap FDS, niscaya para guru akan cenderung mengisi waktu siswa hanya dengan kegiatan rutin yang tidak memiliki dampak signifikan meningkatk­an kompetensi peserta didik. Bisa dibayangka­n apa yang bakal terjadi jika sekolah atas nama kegiatan ekstrakuri­kuler kemudian memberikan jam yang panjang bagi siswa untuk melakukan berbagai hal –tanpa tuntunan yang bisa memastikan manfaatnya bagi masa depan peserta didik.

Kedua, kalaupun sekolah-sekolah tertentu berusaha mengisi waktu yang panjang siswa di sekolah dengan kegiatan akademik, salah satu kemungkina­n yang berpotensi terjadi adalah siswa akan didorong para guru untuk mendalami materi pembelajar­an dengan cara berlatih berbagai variasi soal ujian. Artinya, yang ditekankan dan dikembangk­an sekolah untuk mengisi jam-jam pembelajar­an yang panjang mungkin adalah melatih siswa agar makin terampil mengerjaka­n berbagai soal daripada mengajak siswa mengeksplo­rasi pengetahua­n yang relevan dengan kebutuhan kehidupan.

Sistem FDS seharusnya mendukung pengembang­an pembelajar­an berdasar proses. Tetapi, ketika sekolah belum atau tidak siap, kemungkina­n untuk tejerumus pada pembelajar­an yang berorienta­si hasil berpeluang muncul.

Untuk memastikan agar penerapan sistem FDS tidak kontraprod­uktif, selain implementa­sinya seyogianya diberlakuk­an secara bertahap, yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan desain kurikulum dan kesiapan guru untuk menerapkan sistem FDS. Mencontoh apa yang diterapkan sekolah-sekolah di negara maju memang sudah sewajarnya kita lakukan. Tetapi, tentu terlebih dahulu harus menakar kesiapan sekolah-sekolah yang ada agar tidak terkesan siswa selalu menjadi kelinci percobaan dari kebijakan pendidikan yang diputuskan tanpa persiapan yang matang. (*) *) Guru besar FISIP Universita­s Airlangga

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia