Jawa Pos

Tiga Hari Sekali Berganti Menu dari Negara Berbeda

Rendang kerap jadi menu favorit dalam acara buka bersama di Gold Coast. Terbuka bagi siapa saja, termasuk warga nonmuslim. Wartawan Jawa

- Pos FARID S. MAULANA dan WAHYUDIN turut merasakan suasana kebersamaa­n itu.

BEBERAPA meja panjang bertaplak putih dijejer rapi. Di atasnya, buah-buahan seperti kurma dan semangka sudah tersedia

Puluhan botol minuman mineral dan orange juice dingin juga tersaji.

’’Menu hari ini masakan Pakistan. Kamu harus coba nanti,’’ kata Hamdi Bakar sembari mempersila­kan Jawa Pos mencicipi makanan yang ada.

Waktu berbuka untuk wilayah Gold Coast, Australia, hampir tiba pada Minggu pekan lalu (29/5) itu. Itu adalah buka pertama bagi warga muslim di sana karena mereka mulai berpuasa sehari lebih lambat ketimbang di Indonesia.

Hamdi, warga Indonesia yang sudah dua dekade tinggal di kota di Negara Bagian Queensland tersebut, pun berpamitan untuk mengumanda­ngkan azan. Azan terdengar, kurma dan semangka segera disantap lebih dulu sebagai takjil pembatal puasa.

Baru sesudah salat, puluhan jamaah beramai-ramai menuju deretan meja panjang yang terletak di halaman belakang Masjid Gold Coast. ’’Suasana seperti inilah yang selalu kami rindukan karena jadi ingat rumah dan Ramadan di kampunghal­aman. Tapi, semuaitubi­sa sedikit tergantika­n dengan bertemu keluarga baru di sini,’’ ungkap Sal- wa Al’as, perempuan asal Bandung yang sudah beberapa tahun tinggal di Gold Coast.

Keluarga baru yang dimaksud Salwa adalah puluhan ’’warga dunia’’ dari berbagai negara yang sore itu meriung di kiri-kanan meja-meja panjang tadi. Tampak akrab satu sama lain. Berbincang tentang makanan yang tersaji, keluarga di rumah, atau apa saja.

Keanekarag­aman bangsa dan latar belakang itulah yang selalu mengingatk­an Salwa dan para warga Indonesia lain yang berdomisil­i di Gold Coast tentang kampung halaman. Menjadi semacam obat kangen bagi Indonesia yang juga demikian plural.

Keuntungan lain, mereka jadi bisa merasakan makanan dari berbagai penjuru dunia. Pada Senin pekan lalu, sajian utama saat berbuka memang bubur zafran dari Pakistan. Tapi, pada hari-hari berikutnya bisa jadi Afghanista­n, India, atau Sri Lanka. Tak terkecuali Indonesia tentu saja. ’’Kadang ada nasi goreng atau rendang yang tersedia,’’ tutur Salwa.

Bahkan, kata Salwa, rendang dan nasi padang kerap jadi favorit. ’’Kalau nasi goreng, biasanya disertai lauk-pauk seperti tempe dan tahu,’’ ungkapnya.

Lainnya, ada menu Afghanista­n seperti nasi phalaw dan challow. Turki juga tidak ketinggala­n ikut menampilka­n masakan khasnya seperti kuzu tandir dan kebab.

Untuk menyajikan menu dari berbagai belahan dunia itu, Gold Coast Mosque punya tim dapur sendiri. Salwa termasuk di dalamnya. Yang lain kebanyakan para ibu dari India, Malaysia, dan Sri Lanka.

Pergantian menu biasa dilakukan tiga hari sekali. Misalnya, tiga hari masakan Indonesia, tiga hari selanjutny­a Afghanista­n. Begitu seterusnya selama sebulan. ’’Tapi, kadang juga sehari sekali berubah. Tergantung jumlah bahan di dapur. Kalau banyak daging domba atau sapi, pasti menu Indonesia dan Timur Tengah yang sering dihidangka­n,’’ ujarnya.

Salwa menjelaska­n, awalnya memang ada proses adaptasi untuk memasak menu-menu tersebut. ’’Kami lihat resep, lalu lihat bahan, diolah. Untungnya, kebanyakan masakan Timur Tengah mirip dengan Indonesia yang kaya rempah,’’ paparnya.

Agar secara rasa tidak ngalorngid­ul, selalu ada taster dari negara asal makanan tersebut. Jika dirasa kurang sesuai, tim dapur Gold Coast Mosque segera mengevalua­si dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

’’Untungnya tidak pernah ada protes berlebihan. Makanan yang dihidangka­n selalu habis dan mendapat pujian,’’ ujarnya, lantas tertawa.

Salwa menyebut ibu-ibu yang bertugas di dapur untuk memasak menu buka puasa murni tidak dibayar. Mereka merupakan istri para pengurus masjid yang secara sukarela ikut membantu menyediaka­n menu buka puasa. Bahkan, anak-anak mereka, terutama yang perempuan, mulai dididik agar bisa memasak menu dari berbagai belahan dunia.

Pembelajar­annya dimulai tiap Jumat. Pada hari itu, seusai salat Jumat, tepat di belakang Gold Coast Mosque, selalu dibuka pasar dadakan. Tidak besar, hanya di dalam sebuah toko berukuran 6 x 3 meter. Di toko itu, masakan-masakan dari para imigran dijual. ’’Belajarnya di situ, mencoba masakannya satu-satu. Akhirnya paham-paham sendiri bagaimana rasanya,’’ tuturnya.

Semua gratis. Juga, terbuka untuk siapa saja. Dananya berasal dari donatur yang disalurkan melalui Gold Coast Mosque sebagai penyelengg­ara. Baik dari masyarakat Islam di Gold Coast maupun bantuan dari berbagai negara Islam di dunia.

’’Baik muslim atau tidak, kami terima dengan tangan terbuka untuk turut berbuka. Karena kami ingin masyarakat Australia melihat bagaimana Islam yang sebenarnya, Islam yang mengedepan­kan cinta damai dan persaudara­an,’’ tutur Hussain Baba, sekretaris Gold Coast Mosque.

Ramadan di Gold Coast kali ini jatuh menjelang musim dingin. Durasi puasanya sekitar 11 jam.

Kotapantai­yangberjar­ak66kilome­ter dari Brisbane, ibu kota Queensland, tersebut ber penduduk sekitar 482 ribu jiwa. Umat muslim di sana berasal dari sekitar 60 negara yang episentrum kegiatanny­a di Gold Coast Mosque.

Menurut Hussain, sumbangan yang diterima pihaknya kadang langsung berupa bahan makanan seperti daging, buah, dan sayuran. Kalaupun berbentuk uang, pihak masjid akan membelanja­kannya.

Nah, eratnya persaudara­an antarwarga dari berbagai negara di Gold Coast itu juga bisa ditemukan di pasar. ’’Pedagang nonmuslim, tiap tahu kami berbelanja untuk keperluan puasa, selalu sukarela menawarkan diskon,’’ kata Hussain. (*/c5/ttg)

 ?? WAHYUDIN/JAWA POS ?? DARI BERBAGAI NEGARA: Suasana buka bersama di halaman belakang Gold Coast Mosque, Gold Coast, 28 Mei lalu.
WAHYUDIN/JAWA POS DARI BERBAGAI NEGARA: Suasana buka bersama di halaman belakang Gold Coast Mosque, Gold Coast, 28 Mei lalu.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia