Permintaan Tinggi, tapi Kekurangan Lidah Buaya
Sebelas desa di Kecamatan Gedangan tergabung dalam program Desa Melangkah 2017. Mereka memiliki potensi-potensi ekonomi yang layak diangkat. Jumlahnya pun banyak dari kuliner hingga beragam kerajinan.
TERLIHAT ada bangunan yang eyecatching saat menengok ke Jalan Balai Desa Nomor 15, RT 1, RW 1, Desa Tebel, Gedangan. Bangunan tersebut bernuansa khas Bali. Sejumlah penyangga dicat hitam putih layaknya papan catur. Dua payung juga dijadikan hiasan di pintu masuk. Suasana makin asri dan rindang dengan banyaknya tanaman di sekitar lokasi itu.
Pada dinding tempat tersebut, tertulis besar ”Aloe Vera” alias lidah buaya. Tempat itu menjadi lokasi memamerkan sekaligus menjual produk olahan dari lidah buaya. Ada dawet, sari lidah buaya biji selasih, jelly, serta masker. Olahan lidah buaya punya banyak manfaat. Di antaranya, pereda panas dalam, mag, sembelit, susah buang air besar, dan meningkatkan daya tahan tubuh.
Untuk bahan baku, Suroto, pemilik usaha tersebut, beserta istrinya, Siti Mudrikah, menanam lidah buaya sendiri. Tanaman itu berada di sekeliling rumah dan sekitar kedai tempat jualan produk aloe vera. ”Kalau untuk pembibitan, kami tanam di belakang kedai. Kalau yang sudah besar, kami pindah di pinggirpinggir sungai dan depan rumah. Kami memanfaatkan lahan kosong. Butuh sekitar lima bulan untuk siap panen,” terang Suroto.
Karena keterbatasan lahan, lidah buaya juga dititipkan ke tetangga sekitar rumah. ”Menanamnya bisa di pot, jadi sekalian buat hiasan,” ucap pria yang juga menjabat Kasi Pemerintahan Desa Tebel itu.
Yang menarik, semua lidah buaya tersebut ditanam secara organik. Mereka hanya memanfaatkan humus dan pupuk kandang sebagai media tanam. Jadi, kadar keasaman (pH) dalam kandungan lidah buaya hanya 3–4 persen. ”Pupuk kandangnya mengambil dari tetangga juga. Di sini beberapa masih ada yang punya sapi,” ujar Suroto.
Untuk humusnya, Suroto memiliki komposter sendiri yang digunakan untuk mengolah sampah daun di sekitar rumah. Kulit lidah buaya yang tidak digunakan juga dimasukkan ke komposter untuk dibuat pupuk. ”Kalau nggak organik, saat diolah akan lebih banyak lendirnya dan berbau lengur. Apalagi, 92 persen komposisi lidah buaya adalah air dan sisanya serat,” terangnya.
Meski lidah buaya ditanam secara organik, lendir dan baunya masih ada. Namun, Suroto memiliki trik sendiri untuk menghilangkan lendir dan bau itu ( lihat grafis). Dalam sehari, pasangan tersebut rutin panen dan memproduksi. Sehari mereka bisa menghasilkan 150 botol sari lidah buaya biji selasih. Per botol berisi 350 mililiter.
Suroto menyebutkan, sebenarnya permintaan lebih dari itu. Namun, dia belum bisa memenuhinya karena kurangnya bahan baku. Jika dipaksa panen semua, besoknya tidak ada bahan baku, bahkan akan susah saat melakukan pembibitan. ”Kalau kulakan lidah buaya pasti rasanya beda karena ini ditanam khusus. Kulakan pun pasti susah mencari penjualnya karena jarang yang memanfaatkan lidah buaya,” paparnya.
Apalagi saat Ramadan maupun lebaran. Per hari Suroto bisa sampai menghabiskan sekuintal bahan baku lidah buaya. Itu baru untuk minuman, belum olahan lainnya. ”Dijual eceran dan grosir juga. Untuk minuman sari lidah buaya dan biji selasih satu kardus isi 12 botol. Kami pakai gula pasir tanpa pengawet dan pemanis buatan,” katanya.
Untuk pasar, Suroto menyatakan tidak hanya di Kota Delta, tapi juga Surabaya dan Mojokerto. Bahkan, dia memasok ke luar Jawa, Lombok, dan Sumatera. ” Yang jelly lidah buaya ini juga laris. Anak kecil dan ibu-ibu hamil yang suka ini,” ucapnya.
Kini Suroto dan istri berniat membuat varian baru. Yakni, teh lidah buaya. Untuk pemasaran, mereka juga akan merambah ke online. ”Tapi, kami masih siapkan bahan baku yang lebih juga biar kalau ada yang pesan nggak kecewa,” tuturnya. ( uzi/c25/dio)