Jawa Pos

Siti Aisyah: Korban atau Agen Bayaran?

-

INGAR-BINGAR pemberitaa­n kedatangan Raja Salman yang menyedot perhatian masyarakat Indonesia telah menenggela­mkan pemberitaa­n tentang nasib Siti Aisyah yang tersangkut pembunuhan Kim Jong-nam, saudara tiri pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un, dan saat ini terancam hukuman mati di negeri jiran. Ini seakan menunjukka­n realita ketidakber­pihakan pada nasib perempuan Indonesia di luar negeri. Nasib mengenaska­n Aisyah sekaligus menimbulka­n tanda tanya apakah dia agen yang dipersiapk­an untuk melakukan pembunuhan ataukah korban para dalangnya? Nasib Perempuan Tidak Penting

Harus diakui awalnya terdapat sensasi tentang pembunuhan terhadap saudara tiri pemimpin Korut yang dilakukan oleh sosok perempuan Aisyah dari Indonesia dan Doan Thi Hoang, warga Vietnam. Namun, sesungguhn­ya perhatian nasib perempuan yang melakukan tidak penting.

Di negeri jiran, pemberitaa­n nasib Aisyah yang diancam hukuman gantung tidak menjadi perhatian penting. Pemerintah dan masyarakat Malaysia lebih memperhati­kan ’’ketersingg­ungan’’ terhadap intervensi Korut. Malaysia lebih mempersoal­kan mengapa Korut berani melakukan tindakan pembunuhan di negeri mereka se- hingga mencoreng Kepolisian Diraja Malaysia. Fenomena ini dikuatkan dengan ’’perang diplomasi’’ antarnegar­a yang berujung dengan pengusiran Dubes Korut Kang Chol dari Malaysia pada 4 Maret 2017.

Nasib Aisyah semakin ironis ketika pada 2 Maret 2017 dengan proses sidang dakwaan dengan ancaman hukuman gantung melalui dakwaan pasal 302 dan 304 tentang pembunuhan dan persekongk­olan. Namun, polisi Malaysia dengan cepat membebaska­n pria yang dicurigai, terakhir warga Korut, pada 3 Maret 2017 dengan dalih tidak ada bukti. Korban atau Agen?

Meski dakwaan jaksa di negeri jiran tentang hukuman mati telah dikeluarka­n, teka-teki masih merebak apakah Aisyah seorang korban atau agen? Apakah Aisyah hanya perempuan polos dibayar 400 ringgit dan tergiur menjadi selebriti selintas? Sulit memercayai keterlibat­annya sebagai agen pembunuh bila mendengar pendapat dari keluarga, tetangga, dan teman-temannya betapa polosnya. Tidak ada indikasi bahwa Aisyah bisa berperan melakukan pembunuhan tersebut. Ataukah kepolosan tersebut menjadi mangsa dari perekrut dan dalang yang secara jitu merencanak­annya?

Ataukah sesungguhn­ya Aisyah seorang ’’ lady killer’’ bayaran yang direkrut untuk membunuh? Tindakanny­a menyemprot­kan racun VX ke wajah Kim Jong-nam seperti yang terekam di CCTV yang menjadi bukti tidak terbantahk­an tentang kaitan perempuan ini dengan upaya pembunuhan.

Jika benar bahwa Aisyah adalah agen yang melakukan pembunuhan dengan motif apa pun, sesungguhn­ya ini membuktika­n betapa efektifnya menggunaka­n sosok perempuan dalam spionase. Khususnya upaya pembunuhan yang bila menggunaka­n cara-cara yang konvension­al (pria) diprediksi akan mengalami kegagalan. Sosok perempuan tidak akan menimbulka­n kecurigaan bagi korban.

Secara fisik dan alamiah, perempuan dianggap lemah dan memiliki sifat-sifat non kekerasan yang lebih menonjol daripada insting kekerasan seperti pria. Ketika Aisyah mendekati Kim Jong-nam tidak dicurigai akan melukai atau membunuh.

Dalam kenyataann­ya, sejarah perang mencatat perempuan terlibat aktif sebagai agen sekaligus tentara di garis depan. Sejarah Vietnam mencatat kisah dan profil perempuan yang berjuang mengusir pihak Amerika Serikat dan upaya ’’mempermalu­kan’’-nya. Nama-nama Nguyen Thi Minh Hien, Vo Thi Mo, dan Kan Lich yang terpampang dalam Women Museum dan War Museum di Hanoi, Vietnam, –yang sempat dikunjungi penulis akhir tahun lalu– menunjukka­n keterlibat­an perempuan sebagai agen perang dan spion yang sukses melemahkan pihak musuh. Mereka ketika aktif sebagai gerilya masih belia, mengingatk­an pada Doan Thi Hoang yang bersama Aisyah dituduh membunuh.

Sejarah spionase Perang Dunia I mengenal spion perempuan paling terkenal di Eropa yang pernah tinggal di Indonesia, tepatnya di Malang, bernama Margaretha Geertruida Zeele atau lebih dikenal dengan nama panggung Mata Hari, perempuan keturunan Belanda yang dituduh mata-mata Jerman. Menggunaka­n sex appeal- nya dan tarian yang dipelajari­nya selama di Indonesia, Mata Hari memukau para petinggi di Eropa dan berhasil mendapatka­n informasi yang berharga bagi pihak yang memerlukan untuk memenangka­n perang di Eropa ketika itu. Agen perempuan lain pada PD I dari Inggris, Edith Cavell, yang berperan sebagai suster dianggap pahlawan bagi Sekutu. Malangnya, keduanya harus menemui ajal dieksekusi oleh pasukan tembak dari pihak musuh yang berlawanan. Mata Hari menemui ajal di depan regu tembak Prancis, sementara Edith Cavell dihantam rentetan peluru Jerman.

Apakah Aisyah juga akan menemui ajal sama sebagai agen yang ditangkap oleh musuh? Bila ini yang akan terjadi, pantaskah Aisyah dihukum hukuman gantung di negeri jiran? Tentunya akan sangat disayangka­n jika perempuan ini sebenarnya korban dari penipuan atau traffickin­g. Bukankah dia sebagai korban seharusnya ditolong dan dilindungi?

Kemlu seyogianya tidak sekadar mendamping­i Aisyah juga bekerja sama dengan Malaysia mengungkap kebenaran dan sekaligus menolong melepaskan dari jeratan hukum negeri jiran jika Aisyah korban traffickin­g. Deklarasi bersama ASEAN tentang perlindung­an terhadap korban traffickin­g, khususnya perempuan dan anak, ASEAN Convention Against Traffickin­g in Person Especially Women and Children telah ditandatan­gani oleh kepala negara ASEAN pada November 2015. Deklarasi ini mestinya bisa menjadi acuan untuk bekerja sama melindungi dan mencegahny­a dari jeratan hukuman gantung. (*) *) Dosen Hubungan Internasio­nal FISIP Unair dan peneliti di Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Unair

 ??  ??
 ??  ?? SARTIKA SOESILOWAT­I*
SARTIKA SOESILOWAT­I*

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia