Jumlah Pengunjung Turun setelah Bom Bali I
Pulau Lombok terkenal dengan sejumlah desa adatnya. Tak kurang dari enam desa adat masih bertahan sampai sekarang. Sayang, salah satunya, Desa Adat Karang Bayan di Lombok Barat, kini terancam punah. Mengunjungi Desa Adat Karang Bayan di Lombok Barat yang
MESKI berlabel desa adat, Karang Bayan berada di kawasan yang mudah dijangkau. Jalan menuju ke sana cukup mulus. Beraspal. Sisi kanan dan kirinya dihiasi hamparan sawah yang mulai menguning. Mungkin satu–dua bulan lagi bisa dipanen.
Satu kilometer menjelang tiba di tujuan, banyak penjual buah-buahan di pinggir-pinggir jalan yang menyambut. Ada yang menjual durian, rambutan, pisang, manggis, dan sebagainya. Desa Karang Bayan memang dikenal sebagai penghasil buah-buahan di Lombok.
Desa Adat Karang Bayan yang masuk wilayah Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, merupakan basis penduduk suku Sasak
Pada dekade ’80-an sampai ’90-an, di desa itu masih banyak rumah berdinding kayu. Tapi, sekarang rumah-rumah tradisional tersebut sudah berubah bentuk menjadi rumah berdinding batu bata. Untuk menuju pusat desa itu, pengunjung mesti menyusuri jalan setapak yang menanjak berjarak sekitar 100 meter.
Penduduk Karang Bayan dulu dikenal sebagai penganut Islam Waktu Telu. Mereka mengerjakan salat hanya dalam tiga waktu, bukan lima waktu sebagaimana lazimnya umat Islam. Yakni saat duhur, asar, dan magrib. Islam di sana berakulturasi dengan Hindu sehingga banyak produk budaya Karang Bayan yang berbau dua agama itu.
Penduduk Karang Bayan percaya bahwa mereka masih satu nenek moyang dengan orang Bayan yang ada di Kabupaten Lombok Utara. Sebab, bentuk bangunan rumah maupun masjidnya mirip dengan yang ada di Desa Adat Bayan, Lombok Utara.
Saat ini bangunan asli peninggalan nenek moyang warga Karang Bayan yang tersisa tinggal empat buah. Di antaranya dua masjid kuno dan sebuah ruang dapur yang berada di dalam pagar bambu. Ukuran masjid yang dipercaya berdiri sejak 400 tahun lalu itu sekitar 6 x 8 meter.
Bangunan masjid kuno Karang Bayan cukup unik. Fondasi sekaligus lantainya cukup tinggi, hampir 2 meter. Terbuat dari tanah lempung dan batu gunung. Meskipun tidak menggunakan semen, fondasi bangunan masjid tersebut masih kukuh sampai sekarang. Setiap sore masjid khas suku Sasak itu digunakan anakanak untuk mengaji. ”Yang diganti hanya atapnya yang dari jerami ilalang itu,” kata Wardana, warga setempat, Kamis (2/3).
Pria 40 tahun tersebut menceritakan, juru kunci masjid kuno Karang Bayan selama ini bernama Nuarsah. Namun, baru sekitar satu bulan lalu, Nuarsah meninggal dunia. Sampai sekarang tokoh masyarakat setempat belum menunjuk juru kunci masjid yang baru.
Wardana menambahkan, masjid itu memiliki dapur untuk memasak ramai-ramai jamaah saat ada acara-acara keagamaan. Misalnya perayaan Maulid Nabi, tahun baru Islam, atau saat buka puasa dan Idul Fitri.
Diakui, masjid kuno di Karang Bayan tidak begitu luas. Bangunan masjid tersebut hanya bisa menampung 30 orang. Sedikitnya jamaah di masjid itu antara lain disebabkan ukuran masjid yang kecil. Karena itu, jamaah yang datang ke masjid umumnya orang-orang yang memiliki pemahaman agama yang tinggi. Masyarakat umum menjalankan ibadah di pelataran masjid.
Tidak jauh dari masjid kuno, ada sebuah rumah adat Karang Bayan yang masih berdiri kukuh. Rumah utama berukuran 7 x 10 meter. Lantainya cukup tinggi. Sekitar 2 meter dari tanah. Untuk mencapai ruang utama, pengunjung harus menaiki anak tangga. ”Bangunan kuno di sini umumnya tinggi-tinggi,” ucap Wardana.
Bapak empat anak itu menjelaskan, ada alasan khusus rumah adat Karang Bayan dibuat tinggi. Antara lain untuk menghindari binatang-binatang liar seperti ular atau macan. Kemudian, rumah berfondasi tinggi tersebut juga aman saat banjir menggenang.
Wardana menjelaskan, saat ini rumah utama adat Karang Bayan ditinggali Nenek Merti. Dia dipercaya sebagai generasi keenam pendiri Kampung Karang Bayan. Suami Merti yang bernama Darsani sudah lama meninggal. ”Nenek Merti usianya sudah 90 tahun. Tinggal sendirian. Saya adalah anak angkatnya,” jelas pria kelahiran 1970 itu.
Saat Jawa Pos mengunjungi rumah utama adat Karang Bayan, nenek Merti duduk di teras sambil mengunyah daun sirih. Meski sudah renta dan pendengarannya melemah, dia masih kuat naik tangga rumahnya.
Rumah turun-temurun yang ditinggali Merti dibagi dalam dua ruangan. Satu ruangan digunakan sebagai tempat tidur, satu ruangan lainnya untuk menaruh perkakas. Sayang, ruangan itu cukup pengap karena tidak banyak sirkulasi udaranya.
Wardana menjelaskan, sehari-hari Merti mengonsumsi daging sapi yang dikeringkan. Daging sapi diiris memanjang menyerupai jari. Kemudian digantung di balik atap ilalang. Setelah kering, daging itu ditumbuk, lalu mulai bisa diolah sesuai selera.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani tersebut menjelaskan, pernah ada sejarawan Belanda yang meneliti keaslian rumah utama Desa Adat Karang Bayan itu. Setelah dianalisis dari daun pintu yang terbuat dari kayu nangka, usianya diperkirakan sudah 400 tahun. Selain daun pintu, tiang penyangga di bagian teras juga masih asli. Kayu nangka tersebut ditatah dengan ukiran bermotif bunga.
Wardana menambahkan, Desa Adat Karang Bayan dulu sangat ramai. Namun, kepopulerannya meredup setelah terjadi bom Bali I pada 2002. Setelah bom yang dimotori Amrozi cs itu, kunjungan wisatawan asing di Karang Bayan merosot tajam. ”Ini tidak boleh dibiarkan. Harus dikembalikan sebagai destinasi wisata yang nyaman,” tuturnya.
Ratilam, warga lain, mengatakan, saat Karang Bayan masih jaya dulu, dirinya berjualan anyaman ketak. Wujudnya bisa berupa piring tempat buah dan sebagainya. Anyaman ketak terbuat dari jenis rerumputan. Tapi, dengan pengolahan khusus, ia bisa menjadi keras layaknya dari rotan. ”Dulu uang dolar (USD) itu banyak di sini,” katanya.
Saat akhir pekan, perempuan 55 tahun tersebut bisa mengantongi uang USD 100– 200 (Rp 1–2 juta) sehari. Namun, begitu terjadi bom Bali I, tidak ada yang membeli dagangannya. Ratilam sempat mengajak Jawa Pos ke rumahnya dan menunjukkan beberapa hasil anyaman ketak. ” Yang tempat buah ini saya jual Rp 50 ribu,” ucapnya.
Ratilam dan Wardana berharap wisatawan lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke Karang Bayan bisa ramai seperti dulu lagi. Mereka juga berharap pemerintah daerah ikut aktif mempromosikan Desa Adat Karang Bayan sehingga tidak mengalami kepunahan seperti beberapa desa adat yang lain.
Desa Adat Karang Bayan juga menjadi semacam cermin kerukunan umat Islam dan Hindu. Di sebelah timur, mayoritas warga beragama Hindu, sedangkan di barat umumnya umat Islam. Dampak kerukunan itu antara lain berwujud pada pernikahan silang 25 warga desa adat tersebut.
Menyikapi Desa Adat Karang Bayan yang nyaris punah, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid merasa prihatin. Di sela rapat koordinasi bidang pendidikan di Senggigi, Lombok Barat, Hilmar menegaskan bahwa desa adat perlu dipertahankan. ”Pelaku seni budaya, pemda, dan pemerintah pusat perlu bekerja sama untuk mempertahankan desa adat di sini,” tuturnya.
Hilmar membeberkan, ada sejumlah komunitas seniman yang meminta dibangunkan rumah seni untuk beraktivitas. Padahal, menurut dia, seniman bisa memanfaatkan rumah-rumah adat untuk memamerkan karya seni. Dengan demikian, rumah adat bisa tetap bertahan dan seniman memiliki ruang ekspresi yang representatif. ”Kalau mereka dibuatkan balai budaya baru, tidak ada jaminan mereka akan aktif terus.” (*/c9/ari)