Jawa Pos

Tak Percaya Gedung Siola Jadi Kantor Pemerintah­an

-

Sebab, Suriya tidak mahir berbahasa Inggris.

Wajah ceria Nurainee tiba-tiba berubah saat membaca surat itu. Tangisnya pecah sebelum menyelesai­kan isi surat. Dia tidak pernah merasakan situasi yang dialami suaminya. Dia kehilangan kasih sayang ayah dan tak pernah bersekolah.

Dia tidak kuat untuk melanjutka­n membaca isi surat itu. ”Sangat puitis,” kata dia, lalu menghapus perih air matanya. Melihat istrinya menangis, Suriya hanya duduk tertunduk di kursi pojok lounge Jawa Pos, lantai 4 Graha Pena Jawa Pos. Suasana hening.

Untuk mencari ayahnya, Suriya hanya punya bekal foto-foto yang tersimpan di buku album mini. Selain itu, secuil kisah ayahnya hanya dia dapat dari cerita ibunya, Ameenah Alee.

Orang tuanya bercerai karena Ameenah lalai. Perempuan itu meninggalk­an Suriya saat berusia satu tahun. Suriya lalu terjatuh karena tidak diawasi ibunya. Pertengkar­an Ameenah dan Jimmy Alfa tidak terelakkan. Buntutnya adalah perceraian. Ayahnya yang pedagang pakaian bekas hendak membawa Suriya kembali ke Indonesia. Namun, keluarga Ameenah menyembuny­ikan Suriya. Dengan kecewa dan marah, ayahnya pulang ke Indonesia. Sejak saat itu, tidak pernah ada kabar tentang ayahnya.

Enam bulan lalu, Suriya meren ca nakan perjalanan ke Indonesia. Pasangan itu lalu menabung hingga 20 ribu bath, setara Rp 7,6 juta. Rencananya, mereka datang pada Mei. Namun, uang sudah terkumpul dan hotel tempat mereka bekerja mengizinka­n keduanya untuk mengambil cuti. Mereka pun datang ke Indonesia lebih cepat dari rencana. Suriya bekerja sebagai instruktur olahraga hotel, sedangkan istrinya sebagai manajer penjualan.

Mereka mendarat di Surabaya pada 11 Februari. Selain bekal foto, ibu Suriya pernah bercerita bahwa ayahnya tinggal di Jawa Timur. Bekal informasi yang minim itu mereka bawa ke Dinas Kependuduk­an dan Pencatatan Sipil (Dispendukc­apil) Surabaya di gedung Siola kemarin pagi.

Mereka sempat tidak percaya saat sopir taksi membawa mereka ke gedung Siola. Gedung itu lebih mirip galeri seni ketimbang kantor pemerintah­an. Sebab, di pintu masuk terdapat Museum Surabaya dan pameran lukisan. Namun, setelah melihat lantai 3 gedung, mereka baru ngeh bahwa Siola menjadi kantor pemerintah­an sekaligus museum kota. ’’Sangat unik,” ujar Nurainee, lalu memotret lukisan-lukisan yang berjejer di pintu masuk lift.

Kepala Dispendukc­apil Suharto Wardoyo mendamping­i mereka untuk melacak keberadaan ayah Suriya. Dia meminta petugas dispendukc­apil mencari nama Jimmy Alfa di data kependuduk­an Surabaya. Namun, tidak ada satu pun nama yang muncul. Petugas lalu mengutak-atik penulisan nama. Jimmi, Jimi, Jimy, hingga Jim. Siapa tahu ada yang nyantol.

Namun, nasib baik belum datang. Nama itu tidak kunjung muncul. Petugas lalu membuka data kependuduk­an Jawa Timur. Tetap tak ada seorang pun yang muncul di layar komputer. Harapan terakhir mencari di data kependuduk­an nasional. Muncul sejumlah nama. Namun, seluruh nama yang muncul masih anak-anak.

Meski begitu, Suriya tetap optimistis ayahnya masih hidup. Keyakinan itu dia dapat setelah diberi tahu salah seorang ustad di Thailand. Dia diminta segera mencari sosok yang dia rindukan di Indonesia. ”Ustad itu tahu setelah saya tunjukkan foto ayah saya. Dia orang sakti,” jelas pemain sepak bola yang pernah bermain di klub profesiona­l di Thailand dan Malaysia tersebut.

Segala cara ditempuh untuk mencari ayahnya. Pada hari pertama datang ke Surabaya, mereka menemui Musafak. Pria asal Madura yang tinggal di dekat hotelnya. Musafak mengajak mereka keliling kawasan wisata religi Sunan Ampel. Di sana mereka membeli sejumlah oleh-oleh untuk keluarga di Thailand.

Sang penjual oleh-oleh, Yahya Saleh, mendengar cerita mereka. Yahya menunjukka­n salah seorang kiai yang bisa memberi tahu tentang keberadaan ayahnya. Namun, karena sang kiai sedang sakit, pertemuan tidak terjadi. Ya, cara apa pun mereka tempuh demi menemukan sosok Jimmy.

Suriya sebenarnya pernah bertemu ayahnya tiga kali. Namun, hanya dalam mimpi. Dalam mimpi itu, ayahnya terlihat sangat menyayangi­nya. Karena itu, dia yakin ayahnya juga memiliki keinginan untuk mencarinya.

Sebelum bercerai, ibunya pernah menyuruh ayah Suriya kembali saat Suriya sudah dewasa. Tetapi, kunjungan itu tidak pernah terjadi. Rindu kian tidak terbendung. Suriya ingin menepati janji ibunya. Caranya, mencari ayahnya sebelum ayahnya mencarinya.

Saat bertemu ayahnya, dia ingin sekali memeluknya. Namun, dia berjanji tetap tegar. Sebab, sejak kecil dia terbiasa hidup tanpa ayah. Bahkan, di usia 3 hingga 17 tahun, ibunya meninggalk­annya untuk bekerja di Malaysia. Dia hidup bersama keluarga ibunya. ”Saya berusaha tidak menangis,” jelasnya.

Sejak kecil dia sering dijadikan sasaran bully teman sebayanya. Dia tidak bersekolah dan bukan warga Thailand asli. ’’ Anok bang earn Jawa, (Anak asal Jawa, Red).” Begitu teriakan teman-temannya saat dia kecil. Tidak ada sosok ayah untuk mengadu.

Hari ini mereka masih punya waktu untuk berkelilin­g Surabaya. Tetap mencari meski tidak tahu arah melangkah. Besok (18/2) mereka pulang. Mereka sudah membeli tiket pesawat untuk kembali dengan keberangka­tan pagi.

Meski pencarian itu nanti belum mendapatka­n hasil, Suriya masih memiliki rasa optimistis. ’’Kwam ru-siek, I always miss him and believe he still alive (Dalam hatiku, aku selalu merindukan dia dan percaya dia masih hidup),” ucapnya. Setidaknya jejak di sejumlah media sosial dan cerita di koran ini akan dibaca ayahnya. (*/c7/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia