Berlomba beri Layanan Terbaik
Andai Adipati Jayenggrana ”sendiko dawuh” kepada Sri Sunan Pakubuwono dan Pemerintah Hindia Belanda, bisa jadi Sidoarjo masih berada di wilayah administrasi Surabaya. Namun, ternyata sang adipati memilih mengambil jarak dengan dua penguasa. Itulah awal ke
ADIPATI Jayenggrana adalah putra Onggowongso, tumenggung Surabaya yang masih saudara kandung Tumenggung Onggojoyo di Pasuruan. Sejak awal, adipati Sidokare itu mengambil jarak dengan pihak Keraton Kasuhunan Surakarta
Mengapa? Karena Jayenggrana menilai Sri Sunan Pakubuwono bersikap lemah terhadap Belanda. Jayenggrana juga bersikap lemah kepada setiap pemberontakan yang ditujukan ke Surakarta.
Saat Untung Surapati mengamuk dan menguasai Pasuruan, misalnya, Jayenggrana tidak ambil pusing. Bahkan, cenderung membiarkannya saja. Begitu pula ketika pemberontakan mengguncang kedudukan Tumenggung Onggojoyo, paman Jayenggrana sendiri.
Sikap Jayenggrana yang tidak manut itu membuat Belanda dan Kasuhunan Surakarta gerah. Apalagi, Jayenggrana juga bersikap lemah kepada pemberontakan Untung Surapati yang menentang kekuasaan Surakarta dan Belanda dengan mendirikan kerajaan di Pasuruan. Jayenggrana tidak membela. Karena itu, dua penguasa tersebut menganggap Jayenggrana pantas disingkirkan.
Jika Belanda ingin menghukum Jayenggrana dengan kekerasan, tidak demikian halnya dengan Surakarta. Jika memahami tipe orang pesisir, jika kekerasan dihadapi dengan kekerasan, bakal timbul kekerasan baru. Keraton Surakarta membuat taktik. Pada 26 Februari 1709 Jayenggrana dipanggil untuk menghadap Sunan Pakubuwono.
Dalam buku Soerabaia Tempo Doeloe, Jayenggrana memenuhi panggilan Sunan Pakubowono. Dia berpakaian putih-putih. Diiringi puluhan orang. Sesampai di Surakarta, Jayenggrana memasuki keraton seorang diri. Para pengiringnya menunggu di alun-alun. Pada pukul 09.00, saat Jayenggrana akan melintasi gerbang, tiba-tiba muncul belasan prajurit kasunanan. Mereka mengepung dan menyerangnya. Jayenggrana terbunuh pada usia 34 tahun.
Setelah Jayenggrana terbunuh, pemerintah Belanda memecah wilayah Surabaya. Satu pecahannya itu berbentuk Kabupaten Sidoarjo. Kelahiran ”jabang bayi” bernama Kabupaten Sidoarjo tidak butuh jalan berpilin. Cukup dengan dua lembar surat keputusan (SK) Belanda. Satu surat menyatakan Sidoarjo sebagai kabupaten dan surat lain mengubah nama dari Sidokare menjadi Sidoarjo.
Kelahiran ”jabang bayi” itu tertuang dalam SK Pemerintah Belanda 9/1859 tertanggal 31 Januari 1859, Staatsblad No 6. Tanggal dan tahun itulah yang menjadi patokan hari ulang tahun (HUT) atau hari jadi Sidoarjo. Dengan begitu, kini usia kabupaten di sisi selatan Surabaya tersebut telah mencapai 158 tahun.
*** Mampukah ”jabang bayi” tersebut mengikuti kemajuan Surabaya sebagai ”orang tuanya” dulu? Tentu bukan sesuatu mustahil. Tapi, pasti tidak mudah. Banyak faktor. Yang jelas, kemajuan itu, antara lain, bergantung modal. Yakni, kekuatan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Nah, membandingkan APBD Sidoarjo dan Surabaya, rasanya jauh panggang dari api. Pada 2016, APBD Sidoarjo Rp 3,96 triliun. Adapun APBD Kota Surabaya mencapai Rp 7,96 triliun. Separo!
Membandingkan pendapatan asli daerah (PAD) Sidoarjo dengan Surabaya, Sidoarjo juga kalah jauh. Pada 2016, PAD Sidoarjo hanya Rp 1,2 triliun, sedangkan Surabaya sudah melesat Rp 3,8 triliun. Namun, tidak berarti spirit untuk terus mengejar kemajuan Kota Surabaya itu kendur. Bahkan, sang ”jabang bayi” tersebut juga memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan Surabaya.
Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sidoarjo Achmad Zaini, fokus pembangunan pemkab beberapa tahun ke depan akan sama dengan pembangunan beberapa tahun belakangan. Yakni, peningkatan investasi. Selain itu, peningkatan sumber daya manusia (SDM). Tujuannya, masyarakat Sidoarjo dapat menikmati investasi yang belakangan terus meningkat.
Zaini mengungkapkan, nilai investasi dalam sepuluh tahun terakhir adalah Rp 2,7 triliun–Rp 3 triliun. Angka tersebut menjadi bukti pelaku usaha menjadikan Sidoarjo sebagai salah satu ”surga” investasi. Dia memprediksi, ratarata pertumbuhan investasi di Sidoarjo 5–15 persen per tahun. ”Nilai investasi dan ekspor menjadi salah satu kelebihan Sidoarjo dibanding daerah lain di Jatim,” jelasnya.
Salah satu keunggulan Sidoarjo sehingga menjadi jujukan investasi adalah pelaksanaan good governance. Di antaranya, sistem perizinan efektif dan efisien. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu memberikan penghargaan. Sidoarjo pun menjadi percontohan bagi daerah lain di seluruh Indonesia. Zaini menjelaskan, sistem perizinan minim celah praktik korupsi, kolusi, dan sejenisnya. Juga memberikan rasa aman kepada investor.
Zaini menambahkan, tahun ini pemkab tengah menyiapkan Jabon sebagai salah satu kecamatan basis industri di Sidoarjo. Beberapa perusahaan Eropa berminat menanamkan investasi. ”Lihat saja nanti,” katanya.
Sementara itu, Bupati Saiful Ilah mengatakan, saat ini Sidoarjo sudah semakin maju dan berkembang. Di sejumlah bidang, banyak kemajuan yang berhasil diraih. Di antaranya, layanan perizinan Sidoarjo yang sudah sangat maju. Pemohon tidak perlu datang ke kantor. Cukup lewat HP. ”Hanya tiga jam izin selesai,” ucap bupati berusia 67 tahun itu.
Selain layanan perizinan, lanjut Saiful, dalam beberapa tahun terakhir banyak inovasi yang dijalankan. Misalnya, ketika ada jalan di wilayah Sidoarjo yang rusak atau berlubang, masyarakat bisa langsung melapor ke pemkab dengan cepat. ”Sudah aplikasi M-bonk. Begitu lapor, petugas langsung gerak,” katanya.
Bandara Juanda dan Terminal Purabaya yang berada di wilayah Sidoarjo juga menjadi keunggulan tersendiri. Hotel dan penginapan bermunculan. ”Selain itu, memudahkan orang berkunjung ke Sidoarjo,” ujarnya. (jos/aph/c10/hud)