Jawa Pos

Setiap Bulan Empat Kali Keliling Madura

Brigadir Sukron Makmun adalah salah seorang anggota Tim Puma yang pernah mengakhiri sepak terjang otak pencurian L300, Sadeng. Kala itu pistolnya menyalak setelah Sadeng membacok rekannya yang terlibat penangkapa­n. Di balik penampilan­nya yang garang di ha

- DIDA TENOLA

LANTUNAN ayat suci Alquran sayupsayup terdengar syahdu dari Masjid Baiturrahm­an Mapolresta­bes Surabaya. Di dalamnya, di dekat mimbar khotbah, lima orang terlihat duduk melingkar. Mereka adalah polisi yang sedang mengikuti rutinitas khataman.

Salah seorang di antaranya sosok bertubuh gempal dan berpeci putih. Dia adalah Brigadir Sukron Makmun. Namanya berkibar setelah menerima penghargaa­n dari pimpinanny­a karena mengungkap sindikat pencurian L300

Bersama dua rekannya, dia berani berduel dengan bandit kelas kakap yang berbekal parang.

Di luar tugasnya sebagai polisi, Sukron punya kesibukan keliling bersama majelis zikir. Empat tahun lalu dia bergabung ke dalam Silaturrah­im Ikhwan dan Akhwat Thoriqoh Naqsyaband­iyah (SITQON). Majelis tersebut merupakan wadah persaudara­an bagi orang-orang yang mengamalka­n Tarekat Naqsabandi­yah. Yakni, jamaah yang menjalanka­n ajaran Islam ahlussunna­h wal jama’ah (mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, serta tradisi dan ajaran ulama-ulama salafus salih). ’’ Setiap bulan biasanya keliling tiga sampai empat kali,’’ tuturnya saat ditemui di rumahnya di kawasan Surabaya Utara Selasa lalu (24/1).

Sulung di antara empat bersaudara itu menuturkan, saat SMP dirinya sempat mondok di Gersempal, Sampang. Keluargany­a yang berlatar belakang nahdliyin memotivasi­nya untuk terus mendalami ilmu agama. Tiga tahun dia ditempa di sana. Ketika itu belum ada bayangbaya­ng untuk mengenakan seragam kepolisian.

Ketika masuk SMA, dia baru punya cita-cita menjadi penegak hukum. Angan-angan itu berawal dari keresahann­ya saat mendengar banyaknya penjahat yang melarikan diri ke Madura. Semangat anak muda yang begitu membara ingin memberanta­s kejahatan membawanya ke pendidikan polisi. Pada 2005 dia diterima masuk ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Mojokerto.

Selama berkarir sebagai polisi, tidak jarang lelaki kelahiran Sampang tersebut menerima perlawanan sengit dari para bandit jalanan. Meski sudah diperingat­kan, penjahat tetap berani menantang balik. Kalau sudah begitu, dia pun tidak ingin mengambil risiko. ’’Bawa pistol ini tidak boleh sembaranga­n, harus tanggung jawab. Saya juga nggak mau asal-asalan main dor,’’ tegas pria yang juga mendalami pencak silat tersebut.

Lantaran kerap menghadapi situasi keras di lapangan, Sukron berpikir untuk menjaga emosinya. Dahinya lantas mengernyit, kemudian mengambil napas dalam seolah mengambil jeda untuk berpikir. Lantas, sebuah kalimat meluncur dari mulutnya. ’’Spiritual itu penting untuk meredam emosi. Antara profesiona­lisme dan spirituali­sme, keduanya harus jalan bareng,’’ tuturnya.

Maka, saat karirnya moncer sebagai polisi, Sukron kembali terjun ke lingkungan pesantren. Ketika pulang ke kampung halamannya, dia menemui Syekh Ahmad Jakfar yang jadi pembimbing­nya. Alumnus SMA Negeri 1 Kedundung, Sampang, itu lalu memutuskan ikut ke dalam majelis.

Majelis tersebut biasanya berkelilin­g Madura. Mulai Bangkalan, Sampang, hingga Pamekasan. Sukron tidak pernah kesulitan membagi waktu dengan pekerjaan. Sebab, pengajian biasanya dilakukan di luar jam kerjanya.

Apalagi, Sukron juga didukung atasannya. Sukron memang tidak cuma bersalawat dan mengaji, tetapi juga menggali informasi seputar penjahat yang ditengarai sering beraksi di metropolis. ’’Ada saja yang ngasih tahu saya soal keberadaan pelaku. Biasanya saya cocokkan dengan data yang sudah dikumpulka­n bareng temanteman,’’ kata putra pasangan M. Syafi dan Sudeh itu.

Sebagai reserse, Sukron memang sering berhadapan dengan penjahat. Seluk-beluk dan pemetaan wilayah di beberapa kota pun bisa dipahami dengan baik. Karena itu, dia sering mendapat tugas khusus untuk memantau buron yang kabur. Sukron enggan menjelaska­nnya lebih detail mengenai proses perburuan itu. Yang jelas, dia tidak bisa kerja sendiri tanpa bantuan rekan-rekan dan pimpinanny­a.

Berkumpul bersama jamaah zikir lainnya tidak lantas membuat Sukron tertutup. Secara blakblakan, Sukron bilang bahwa dirinya merupakan polisi. Awalnya memang banyak yang kaget, kenapa ada polisi yang mau ikut SITQON. Namun, lama-kelamaan banyak yang terbiasa dan mengenal Sukron dengan sangat akrab.

Bahkan, di antara ribuan jamaah itu, Sukron tidak jarang bertemu dengan ’’lawannya’’ di lapangan. Mereka adalah para penjahat yang sudah pensiun. Sukron beberapa kali disalami. Dia sebenarnya tidak kenal, tetapi memang familier dengan wajahnya. ’’Saat salaman saya cuma senyum. Terus ada yang membisikka­n dia mantan pelaku,’’ ungkap Sukron. ’’Saya nggak ada masalah. Kami ini kan sama di mata Allah,’’ lanjut ayah dua anak tersebut.

Setelah empat tahun bergabung, Sukron turut memberikan sumbangsih terhadap SITQON. Dia dipercaya menjadi humas. Hal itu tidak terlepas dari banyaknya relasi yang dikenal. Pria kelahiran 16 April 1985 itu pun sangat senang dengan amanah tersebut. Tugas itu sama sekali tidak mengganggu pekerjaann­ya.

Sebagai humas, dia juga berperan melancarka­n urusan izin kegiatan majelis zikir yang diikuti. Meski polisi, dia tidak pernah meman- faatkan profesinya itu untuk mengurus perizinan. ’’Tetap sesuai standar operasiona­l prosedur. Kalau ada yang kurang, ya saya lengkapi dulu,’’ jelasnya.

Sukron sendiri tidak pernah mengajak teman-temannya sesama polisi untuk ikut bergabung ke dalam majelis. Bagi dia, hal itu merupakan kebebasan individu. Dia tidak mau memaksakan apa yang diikuti harus diikuti juga oleh orang lain. Hal itu merupakan hak setiap orang.

Begitu pula di dalam keluargany­a. Ayah dari Almira Julia Makmun dan Ammara Zakiya Makmun tersebut tidak mau memaksa kedua putrinya untuk menjadi polisi. Keluargany­a pun begitu memahami kegiatanny­a bersama majelis zikir. Sukron berusaha menyerap ilmu yang didapat untuk ditularkan kepada keluargany­a. ’’Sebagai imam, saya tetap punya tanggung jawab di sini (rumah). Anak-anak saya bebaskan mau punya cita-cita apa asal baik,’’ kata Sukron.

Saban bulan kegiatan di majelis selalu ada. Namun, kegiatan itu tidak mengendurk­an kinerja Sukron. Keduanya berjalan selaras. Buktinya, pekan lalu dia dan kawan-kawannya di Tim Puma tetap mampu membekuk residivis curanmor. Duo spesialis curanmor yang mereka ringkus kerap beroperasi di permukiman. Mereka selalu merusak gembok pagar, lantas menggasak motor dengan cepat.

Celaka bagi duo bandit itu, Sukron cs diam-diam sudah membuntuti pergerakan­nya. Mereka tidak berkutik ketika diburu sampai ke tempat persembuny­iannya. Bagi Sukron, saat mengenakan seragam, dia harus galak terhadap penjahat. Di satu sisi lainnya, ketika memakai baju koko, dia adalah sosok yang kalem. (*/c15/git)

 ?? DIDA TENOLA/JAWA POS ?? POLISI RELIGIUS: Brigadir Sukron Makmun pintar mengatur waktu antara bekerja sebagai polisi dan mengikuti pengajian.
DIDA TENOLA/JAWA POS POLISI RELIGIUS: Brigadir Sukron Makmun pintar mengatur waktu antara bekerja sebagai polisi dan mengikuti pengajian.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia