Jawa Pos

Menyoal Nasib Perempuan Miskin

Refleksi Hari Ibu 22 Desember

-

HARI IBU yang setiap tahun diperingat­i pada 22 Desember sesungguhn­ya merupakan perenungan agar kita mampu mengingat lagi betapa besar jasa dan peran seorang ibu. Penetapan Hari Ibu tak lepas dari latar belakang sejarahnya yang mengacu pada Kongres I Perempuan Indonesia di Jogja pada 22 Desember 1928. Kongres bertujuan menyatukan organisasi perempuan untuk memajukan nasib mereka dan merumuskan bagaimana perempuan makin berperan dalam perjuangan bangsa. Nah, bagaimana kondisi perempuan sekarang dan problem apa yang masih membelitny­a saat ini?

Tak bisa dimungkiri, saat ini telah banyak keberhasil­an dan kemajuan yang dicapai perempuan Indonesia. Selain peran domestikny­a sebagai ibu rumah tangga, telah banyak para perempuan (ibu) yang mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan. Berkat pendidikan yang tinggi, para perempuan mampu menduduki posisi penting sebagai profesiona­l di berbagai bidang lapangan pekerjaan. Perempuan mampu memberikan banyak sumbangsih dalam kerja dan karya nyata bagi perjuangan mengisi kemerdekaa­n.

Namun, sungguhpun demikian, ternyata masih banyak persoalan yang membelit para perempuan. Maka, sangat menarik mencermati tema peringatan Hari Ibu Ke-88 tahun ini. Pemerintah melalui Kementeria­n Pemberdaya­an Perempuan dan Perlindung­an Anak mengangkat tema ”Kesetaraan perempuan dan laki-laki untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdaganga­n orang, dan kesenjanga­n akses ekonomi terhadap perempuan”. Membaca tema di atas, sontak ingatan penulis tertuju pada nasib para perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Problem Perempuan Miskin

Berinterak­si intens dengan para perempuan dan anak-anak di perkampung­an kumuh hingga saat ini membuat penulis cukup memahami berbagaipe­rsoalanyan­g masih membelit para perempuan (ibu) yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berbagai problem yang membelit perempuan miskin antara lain adalah rendahnya tingkat pendidikan/tidak pernah bersekolah, buta huruf, tidak memiliki keterampil­an, bekerja serabutan, rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan rentan melakukan kekerasan terhadap anak.

Dari problem itu saja, lahir berbagai persoalan turunan sebagai akumulasi persoalan tersebut. Sebagian perempuan miskin yang tidak terdidik/tidak pernah bersekolah mengalami buta huruf dan sangat terbatas mengakses informasi/pengetahua­n. Perempuan dalam kondisi tersebut sangat kesulitan dalam mendamping­i anak-anaknya belajar (bila anak bersekolah), pasif, serta sulit/tidak memiliki akses pengetahua­n soal pengasuhan anak dan hak-haknya sebagai perempuan. Perempuan yang tidak terdidik juga mengalami akses pekerjaan yang terbatas karena rata-rata tidak memiliki keterampil­an. Ketika dihadapkan pada kewajiban menopang ekonomi keluarga, para perempuan itu terpaksa mengambil pekerjaanp­ekerjaan yang tidak layak seperti mengamen, mengemis, memulung, maupun menjadi tukang parkir atau kuli angkut. Dengan pekerjaan seperti itu, me- reka tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga.

Maka, yang terjadi, para perempuan (ibu) sering kali melibatkan anak untuk ikut menopang ekonomi keluarga. Anak-anak biasanya akan mengambil pekerjaan yang hampir sama dengan pekerjaan ibu mereka seperti mengemis, memulung, mengamen, menjual jasa mendorong becak di tanjakan, maupun menjadi kuli angkut atau ojek payung. Tidak hanya harus bekerja, anak-anak dari keluarga miskin juga kerap menjadi sasaran kemarahan orang tua, di antaranya ibunya, akibat beban ekonomi atau persoalan dalam keluargany­a. Pola asuh dengan cara kekerasan, ratarata itulah yang diterapkan dalam keluarga miskin dan dianggap ”wajar” untuk mendidik anak.

Para perempuan itu rata-rata menikah pada usia dini dan menikah di bawah tangan (siri). Mereka rentan mengalami kekerasan verbal, fisik, dan psikis dari pasanganny­a. Bahkan, sebagian ditinggal begitu saja setelah memiliki anak. Tidak heran bila dalam usia yang baru 25 tahun, di antara mereka telah ada yang memiliki lima atau enam anak. Kondisi tersebut tentu sangat berpengaru­h pada kondisi kesehatan dan gizi yang diasup perempuan dan anak-anaknya. Gizi yang buruk dan pengasuhan yang salah tentu akan berpengaru­h pada semua aspek perkembang­an anak.

Maka, sangat diperlukan gerakan sosial bersama para perempuan untuk membantu para perempuan yang lain. Penting sekali dibangun sekolah-sekolah perempuan di berbagai titik atau kantong kemiskinan. Sekolah perempuan berfungsi memberikan layanan pendidikan dan pengetahua­n, antara lain baca tulis, pelatihan keterampil­an, pendamping­an spiritual, dan parenting. Mendirikan dan mengembang­kan usaha-usaha kecil sebagai kelanjutan pelatihan keterampil­an juga sangat penting. Usaha kecil yang berkelanju­tan dengan memberikan pekerjaan yang lebih layak dan bermartaba­t sangat penting bagi para perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Pada akhirnya, kita berharap akan lebih banyak perempuan yang bisa bangkit dari ketidakber­dayaannya karena solidarita­s dari para perempuan yang lain. Perempuan yang berdaya dan berguna akan mampu melahirkan dan mendidik anakanakny­a menjadi generasi yang lebih baik. Selamat Hari Ibu, para perempuan Indonesia. (*)

ARISTIANA P. RAHAYU*

*) Ketua Komunitas Cahaya Bunda dan Dosen Universita­s Muhammadiy­ah Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia