Gagal, Ortu Juga Harus Direhab
BELUM terlihat kemajuan berarti dalam pencegahan. Namun, pemerintah sudah cukup bagus dalam menangani korban kejahatan seksual pada anak. Salah satu langkahnya ialah mendirikan rumah perlindungan sosial anak (RPSA)
Di sana korban bisa mendapatkan perlindungan penuh. Bukan hanya soal kebutuhan dasar, tapi juga terapi bimbingan fisik, mental, dan sosial.
Salah satunya RPSA PSMP Handayani, Bambu Apus, Jakarta Timur. Di sana bukan hanya anak sebagai korban yang dibantu, tapi juga anak sebagai pelaku. Ada 50 anak yang berstatus korban. Plus 85 anak berpredikat pelaku. Mereka diasuh di panti dengan luas 5,7 hektare itu. Jumlahnya terus berubah sesuai dengan perkembangan kasus. ”Saya rasa pelaku juga korban. Mereka korban salah asuh,” kata kepala RPSA PSMP Handayani Neneng Heryani.
Neneng menjelaskan, untuk membantu anak-anak tersebut mengatasi trauma, ada beberapa langkah yang dilakukan. Mereka direhabilitasi dengan mengguna- kan pendekatan asesmen, pemeriksaan medis, pemeriksaan psikologis, psikososial, dan trauma healing. ”Tentu tak lupa pendampingan untuk keluarga,” ujarnya.
Sri Musfiah, pekerja sosial (peksos) RPSA Bambu Apus, menceritakan lebih detail proses tersebut. Saat anak masuk, peksos segera melakukan observasi awal. Dalam observasi itu, anak tidak serta-merta dicecar pertanyaan. Mereka didekati dengan cara diberi ketenangan dan jaminan mereka aman.
”Saat mereka datang, ada trauma sendiri-sendiri yang dibawa. Pelaku dan korban tentu berbeda. Tapi, trauma lebih banyak pada korbannya,” jelas perempuan 51 tahun tersebut.
Begitu mereka dirasa lebih tenang, peksos segera melakukan asesmen awal dengan pendekatan biopsikososial. Langkah itu diambil untuk memastikan kondisi kesehatan, psikis anak, serta lingkungan sosialnya. Misalnya keluarga dan lingkungan pergaulan. Dengan demikian, bisa dikuak penyebab terjadinya kejahatan pada dia atau mengapa dia melakukan tindakan tersebut.
”Tapi, rata-rata 70 persen itu disebabkan pola asuh orang tua yang salah,” ucap Sri. Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan kemudahan akses internet dan media sosial. Misalnya yang dialami korban di Bogor, yang terlalu bebas tanpa pengawasan.
Sejalan dengan data yang diungkapkan Sri Musfiah, Deputi Bidang Perlindungan Anak di Kementerian P3A Pribudiarta Nur Sitepu menjelaskan bahwa semua faktor anak terjun dalam prostitusi anak tersebut berpusat dari lemahnya pengawasan dan pengasuhan dari orang tua.
”Kalau mencontoh di beberapa negara maju, pemerintah bisa mencabut hak asuh orang tua kalau mereka dianggap lalai mengasuh anak.” (mia/tyo/c9/ang)