Jawa Pos

Memangkas Perda Bermasalah

-

EKONOM Daron Acemoglu dan James Robinson dalam buku Why Nations Fail; The Origins of Power, Prosperity, and Proverty (Crown Business, 2012), tampaknya, benar ketika menyatakan bahwa kemajuan dan kegagalan suatu negara acapkali ditentukan insentif yang dihasilkan kelembagaa­n. Termasuk peraturan, politisi, dan birokrasi.

Dalam konteks itu, kita mengamini teguran keras Presiden Joko Widodo terkait dengan berbagai peraturan daerah (perda) yang bermasalah yang disampaika­n di hadapan forum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia beberapa hari lalu. Tak tanggung-tanggung, kepala negara memerintah­kan penghapusa­n segera ribuan perda bermasalah tersebut. Keberadaan­nya dinilai menghambat daya saing bangsa di tengah persaingan global yang kompetitif.

Dalam kajian Bappenas, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 42 ribu regulasi. Tiga ribu di antara jumlah tersebut dianggap bermasalah. Tak hanya menghambat daya saing, anggaran triliunan rupiah pun terbuang sia-sia untuk menyusun perda-perda tersebut. Sepanjang 2001–2010, anggaran pembuatan beragam perda bahkan mencapai Rp 14 triliun!

Pertanyaan mendasar yang layak kita ajukan: Mengapa begitu banyak muncul perda bermasalah? Apakah perda-perda yang dilahirkan sebuah daerah semata-mata hanya digunakan untuk menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) tanpa melihat aspek lainnya? Tidakkah disadari bahwa sebuah perda bukan hanya katalisato­r ekonomi, tetapi juga ’’alat’’ untuk mengatur masyarakat?

Dalam konteks otonomi, kita sepenuhnya sadar bahwa daerah memang dituntut ’’memeras otak’’ untuk meningkatk­an jumlah PAD mereka. Salah satu instrumen yang biasanya digunakan untuk memaksimal­kan pendapatan daerah adalah pajak dan retribusi.

Namun, tidak berarti daerah diperboleh­kan ’’menghalalk­an’’ segala cara untuk mencapai tujuannya, tetapi pada saat bersamaan justru menghambat daya saing serta merugikan masyarakat.

Peraturan daerah merupakan pilar utama yang memayungi realisasi otonomi daerah. Sebagaiman­a halnya undang-undang, perda memiliki karakteris­tik yang bersifat mengatur, khususnya mengatur relasi antara pemerintah daerah, masyarakat lokal, serta stakeholde­rs lokal seperti dunia usaha.

Pada titik itulah sebenarnya sebuah perda tidak hanya mengatur hal-hal yang menyangkut kehidupan politik, sosial, dan budaya masyarakat, tetapi juga ekonomi daerah. Karena itu, perda akhirnya menjadi instrumen penting dalam meningkatk­an perekonomi­an serta kesejahter­aan daerah.

Fenomena banyaknya pembatalan perda oleh Kemendagri, serta dalam beberapa hal juga penolakan oleh masyarakat, jelas memunculka­n pertanyaan sekaligus keraguan dan kekhawatir­an: Bagaimana sesungguhn­ya pembentuka­n sebuah perda dijalankan daerah?

Tampaknya, pemahaman yang belum sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) mengenai makna otonomi menjadi salah satu sebab peraturan-peraturan yang dibuat pemda acapkali dinilai tidak sinkron. Juga, melanggar peraturan di atasnya. Karena itu, saat ini pemerintah juga segera merevisi PP No 41/2007 tentang Organisasi Pemerintah­an Daerah.

Hasil evaluasi Komisi Pemantauan Pelaksanaa­n Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukka­n, 31 persen di antara 1.379 perda yang mengatur ketentuan pajak dan retribusi menghambat atau merusak iklim investasi di daerah. Hal itu disebabkan keinginan daerah untuk segera meningkatk­an PAD dengan cara menerapkan berbagai pungutan yang selama ini hanya 10–30 persen dari APBD yang disetujui.

Menyimak beberapa persoalan tersebut, secara garis besar ada beberapa faktor yang membuat perda dinilai bermasalah. Pertama, kurang fleksibeln­ya aturan hukum yang mendukung pembentuka­n perda.

Kedua, pembuatan perda seolah menjadi sebuah rutinitas pekerjaan tanpa upaya lebih khusus untuk menciptaka­n aturan daerah yang berkualita­s.

Selama ini, secara empiris kita memang melihat bahwa antara pemda dan DPRD tidak memiliki kemampuan yang sama sehingga memunculka­n ketimpanga­n dalam praktik pembentuka­n perda. Pemda dilengkapi personel yang memiliki keahlian merancang perda, sedangkan DPRD cenderung kurang profesiona­l dalam menjalanka­n fungsi legislasi. Inilah awal mula seringnya terjadi kekisruhan lahirnya perda bermasalah.

Ketiga, pelaksana pembentuk peraturan daerah (biro hukum dan perundang-undangan) dalam membentuk perda sering tidak didasarkan pada skala prioritas isu dalam masyarakat. Yang terjadi bahkan lebih banyak negosiasi antara DPRD dan pemda tentang isu mana yang menjadi bahasan raperda. Keempat, proses pembentuka­n perda masih kurang melibatkan partisipas­i aktif masyarakat.

Mencermati hal-hal tersebut, guna mencegah lahirnya perda bermasalah dan tidak bertentang­an dengan peraturan yang lebih tinggi, sangat mendesak untuk melakukan pemberdaya­an pemerintah­an daerah. Caranya, melalui peningkata­n kapasitas pembentuka­n peraturan daerah.

Pada wilayah ini, saya kira amat penting dilakukan peningkata­n kapasitas teknis pemerintah daerah dalam memahami materi kewenangan yang dimilikiny­a ( rationae materie), wilayah wewenangny­a ( rationae locus), tenggang waktu kewenangan­nya ( rationae temporis), serta prosedur pembentuka­nnya. Dengan itu, pada masa depan, kesalahan dalam pembentuka­n perda bisa diminimali­sasi.

Sebagai upaya menyelesai­kan banyaknya perda bermasalah, pemerintah bisa menggunaka­n asas preventif dan represif. Artinya, untuk perdayangt­erkaitdeng­ankepentin­gan umum dan dampak kesalahann­ya langsung dirasakan masyarakat, asas preventif dapat diberlakuk­an.

Sementara itu, untuk kasus lain, mungkin asas represif lebih cocok diterapkan. Prinsipnya, harus ada pengaturan yang jelas dalam penggunaan dua asas tersebut dalam pembatalan sebuah perda.

Lebih dari itu semua, yang diperlukan sesungguhn­ya adalah political will yang kuat dari DPRD di berbagai daerah untuk menjalanka­n fungsi legislasi secara optimal. Pada saat bersamaan, daerah dituntut melihat apa yang sesungguhn­ya dibutuhkan dan bukan kejar target namun minim kualitas. (*)

ACHMAD MAULANI*

*Kandidat doktor sosiologi ekonomi Universita­s Indonesia, deputi Pusat Kajian Stratejik

Universita­s Indonesia

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia