UU Bantu Beli Rumah Bikin Resah Pengusaha
Tambahan Iuran Tambah Beban
JAKARTA – Lega dan resah mengiringi penetapan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada sidang paripurna DPR kemarin (23/2). Di satu sisi, UU yang diproses lama dengan melewati sembilan masa sidang itu memudahkan jalan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah.
Namun, di sisi lain, kewajiban pemberi kerja ikut membantu pembayaran iuran membuat waswas kalangan pengusaha. Mereka khawatir, dengan tambahan iuran untuk tapera, beban usaha semakin berat
Sebab, selama ini mereka sudah cukup susah bertahan karena kenaikan upah minimum regional (UMR) dan iuran BPJS.
Tak seperti rencana revisi UU KPK yang mengundang pro dan kontra di parlemen dan publik, proses penetapan RUU Tapera berjalan lancar. Seluruh anggota dewan dari sepuluh fraksi yang hadir dalam rapat paripurna bulat-bulat menyetujui RUU Tapera. Maka, pimpinan sidang Agus Hermanto pun langsung mengetuk palu penetapan.
Ketua Panitia Khusus Pembahasan RUU Tapera Yoseph Umarhadi menyatakan, proses penetapan RUU Tapera menjadi UU yang lancar itu disebabkan adanya pemahaman yang sama bahwa UU Tapera mampu menyelesaikan masalah perumahan di Indonesia. Khususnya bagi MBR. ”Selama ini banyak dari mereka yang sulit mendapatkan akses pembiayaan untuk mencicil rumah karena bunga yang tinggi,” ujar Yoseph di Wisma Nusantara II kemarin.
Dalam beleid tersebut, seluruh pekerja wajib menyisihkan 3 persen gaji untuk tapera, baik pekerja MBR maupun non-MBR. Meski de- mikian, yang mendapatkan fasilitas tapera dalam membeli rumah hanya pekerja MBR. ”Yang nonMBR itu bisa menggunakan dana tersebut sebagai tabungan. Nanti kalau mereka pensiun, bisa diambil,” ucapnya.
Yoseph menjelaskan bahwa RUU Tapera menyediakan payung hukum bagi pemerintah untuk memaksa pekerja menabung sebagian dari penghasilannya di bank kustodian yang dikelola Badan Pengelola (BP) Tapera. Sehingga hasil pengolahan dana tersebut dipergunakan untuk menyubsidi MBR. ”Peserta bisa membeli, membangun, atau merenovasi rumah pertama. Serta akan dikembalikan pada saat peserta berusia 58 tahun atau pensiun,” terang dia.
Konsep gotong royong itulah yang menjadi hal mendasar dalam perumusan RUU Tapera tersebut. ”Khususnya bagi penabung yang mampu dan sudah memiliki rumah serta merelakan sebagian penghasilannya untuk ditabung dengan bunga murah,” terang Yoseph.
Sementara itu, wakil pemerintah dalam sidang paripurna, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono menyatakan siap menampung aspirasi dan masukan sebagai bentuk dukungan serta upaya pemenuhan hak warga atas rumah. ”Setelah diundang-undangkannya UU Tapera, tugas pemerintah segera menyiapkan perangkatnya,” ujar dia.
Pemerintah pun bertugas menyelesaikan peraturan perundangundangan dengan lebih teknis. Nanti peraturan tersebut berbentuk peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), dan peraturan BP Tapera. Adapun isinya terkait dengan besaran kontribusi yang dikenakan, baik untuk para pekerja maupun pemberi kerja.
Perkiraan besaran simpanan pun masih akan didiskusikan. Sebelumnya pemerintah sempat berencana menetapkan besaran simpanan sebesar 3 persen, yakni 0,5 persen iuran dari pemberi kerja dan 2,5 persen iuran dari pekerja. ”Besaran simpanan uang yang disetorkan belum disebutkan. Tapi, maksimal 3 persen, tidak bisa lebih, tapi bisa saja kurang dari itu,” ujar Basoeki.
Besaran iuran juga mempertimbangkan kondisi ekonomi. Karena itu, pihaknya pun akan memberikan ruang bagi pengusaha dan pihak terkait untuk bersama merumuskan besaran iuran tersebut.
Wakil Ketua Pansus Mukhamad Misbakhun meminta pengusaha yang tergabung dalam asosiasi tetap mendukung pelaksanaan tapera. ”Jalan keluar kan didiskusikan terlebih dahulu. UU ini kan untuk kepentingan rakyat banyak,” tuturnya.
Pengusaha Sayang, harapan Misbakhun terhadap pengusaha itu bertepuk sebelah tangan. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani mengaku kecewa karena pengusaha tetap dibebani pungutan perumahan. Menurut dia, aturan tersebut bertabrakan dengan program lain, yakni BPJS Ketenagakerjaan. ”Sudah ada program bantuan subsidi uang muka rumah, kenapa harus dobel-dobel?” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Di sisi lain, Rosan melihat pembayaran iuran tapera yang tetap dibebankan kepada pelaku usaha dikhawatirkan bisa membuat daya saing usaha dalam negeri tidak kompetitif. Padahal, produk di luar terus membanjiri pasar dalam negeri. ”Beban pengusaha otomatis dibebankan ke harga produk, jadi tidak kompetitif,” ungkapnya.
Senada dengan ketua umum Kadin, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, pi- haknya secara tegas menolak UU tersebut karena sumber pembiayaan 0,5 persen menambah berat beban pengusaha. ”Kita masih diskusikan dengan anggota akan melakukan langkah hukum apa untuk menggugat UndangUndang Tapera ini,” ujarnya.
Hariyadi beralasan, pungutan bagi pengusaha saat ini sudah cukup besar. Iuran itu meliputi iuran jaminan hari tua (JHT) 3,7 persen, jaminan kematian 0,3 persen, jaminan kecelakaan kerja 0,24–1,74 persen, jaminan pensiun 2 persen, jaminan sosial kesehatan 4 persen, dan cadangan pesangon 8 persen. ”Itu standarnya,” katanya.
Dia berharap pembiayaan perumahan tersebut tidak diambil dengan menambah pungutan pemberi kerja. Tapi melalui optimalisasi dana-dana publik yang dihimpun dari pengusaha selama ini. ”Seharusnya pemerintah tahu kondisi pengusaha saat ini sangat berat. Untuk bisa bertahan saja sudah alhamdulillah. Jangan menambah beban kami lagi.”
Apalagi, upah pekerja terus naik setiap tahun. Rata-rata dalam lima tahun terakhir kenaikan mencapai 14 persen per tahun. Hal itu membuat pengusaha menjadi semakin pesimistis menghadapi kondisi ekonomi. ”Tahun ini seharusnya menjadi masa pemulihan setelah terpuruk di 2015. Tapi, beban malah semakin ditambah,” cetusnya.
Respons negatif juga ditunjukkan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia. Menurut Bahlil, pengesahan RUU Tapera terlalu tergesa-gesa. Sebab, hal itu belum mendapat persetujuan para pelaku usaha. ”Seharusnya keputusan yang bisa memengaruhi kondisi pelaku usaha harus melibatkan pengusaha. Jangan pengusaha selalu dikorbankan,” keluhnya.