Gus Dur dan Kebangsaan
NYENTRIK. Satu kata untuk menggambarkan sosok Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Ia selalu santun dan bersahaja dalam melontarkan kritik dengan berbagai argumentasi dan joke (guyonan) yang senantiasa mengocok perut.
Ia adalah sosok Guru Bangsa yang jauh dari kesan elitis. Cakrawala berpikirnya menembus awan jauh meninggalkan pandangan kaum intelektual lainnya.
Pandangannya tentang Pancasila, misalnya, telah membuat Gus Dur berdiri di barisan paling depan menolak negara Islam. Pancasila, bagi Gus Dur, bukan hanya sebuah nama dan lambang saja, melainkan juga sistem tata nilai yang berlaku bagi masyarakat Indonesia. Pancasila
Gus Dur menekankan dua sisi dalam memandang Pancasila. Pertama, adanya independensi teologis kebenaran setiap agama dan kepercayaan. Kedua, Pancasila perlu bertindak sebagai polisi lalu lintas dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan.
Gus Dur menggambarkan ini dengan jelas dalam rumusan sederhana tetapi sangat penting, yai- tu ’’ semua agama diperlakukan sama oleh undang-undang dan diperlukan sama oleh negara.’’
Di sini, Pancasila sebagai ide ologi dan falsafah negara memiliki fungsi yang batasanbatasan minimalnya tidak boleh ditundukkan oleh agama-agama dan kepercayaan yang ada.
Kegigihan Gus Dur dalam membela dan mengajarkan arti penting Pancasila bagi bangsa Indonesia dinyatakan dalam pernyataan tegasnya, bahwa tanpa Pancasila negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas, dan ia akan ada selamanya.
Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. ’’Dan Pancasila ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya.’’ Tidak peduli apakah ia akan dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam, atau disalahgunakan keduanya.
Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa, bagi Gus Dur, merupakan fondasi sekaligus tiangtiang dari sebuah bangunan. Dan, ketika fondasi itu dirobohkan, rumah itu juga pasti ikut roboh.
Sebagai fondasi dan tiang-tiang, Pancasila dianggap Gus Dur bisa menjembatani untuk mengakomodasi elemen-elemen bangsa yang majemuk. Meski begitu, Gus Dur mengakui, dalam praktiknya, bagaimana bentuk rumah itu bisa berbeda-beda, meski fondasi dan tiang-tiangnya sudah ada. Kenyataannya, Indonesia dengan Pancasila pernah bereksperimen dengan demokrasi liberal, terpimpin, demokrasi Pancasila, dan seterusnya (Nur Khalik Ridwan, 2010). Perlawanan Kultural
Pembelaan mantan presiden Republik Indonesia ini terhadap Pancasila merupakan kritik sekaligus sanggahannya terhadap kelompokkelompok Islam yang ingin mengubah ideologi bangsa. Bagi Gus Dur, nilai Islam tidak untuk diformalkan, tetapi diimplementasikan dalam kehidupan dan kemanusiaan.
Nilai Islam akan semakin kuat saat ia dapat bersinergi dengan kekuatan bangsa. Meminjam istilah Buya Syafii Maarif, Islam selayaknya mengisi setiap relung Pancasila, sehingga ia bermakna, bukan saling membenturkan ideologi.
Mantan ketua umum PB NU itu menulis, gerakan-gerakan perlawanan kultural kaum muslimin harus lebih dahulu mampu hidup bersama dengan manusia-manusia dari lain agama, ideologi politik, dan pandangan budaya yang memiliki kesamaan pandangan dasar tentang hakikat tempat manusia dalam kehidupan dan cara-cara untuk mewujudkannya (Greg Barton, 1999).
Apa yang diretas Gus Dur di atas merupakan ide kebangsaan yang perlu dilestarikan. Ide kebangsaan Gus Dur tersebut merupakan bagian dari pertautan iman dan realitas sosial. Keimanan dan keislaman bukanlah halangan untuk membangun kebangsaan. Namun, keduanya merupakan modal sosial dalam membangun kebangsaan yang kuat dan tangguh.
Ideologi kebangsaan yang telah dirumuskan oleh founding fathers bukanlah untuk dihadap-hadapkan dengan konsepsi keislaman. Dua hal tersebut sudah selayaknya disiner- gikan dalam kehidupan nyata dalam membangun keadaban bangsa.
Gagasan Gus Dur tersebut, tampaknya, perlu kembali digali di tengah semakin menguatnya desakan mengganti Pancasila dengan ideologi lain, kekerasan atas nama agama dan keagamaan, serta melunturnya semangat dan membanggakan Indonesia.
Ide Gus Dur ini pun perlu disemai dalam paradigma kaum muda agar mereka tak mudah disusupi ideologi yang memisahkan Islam dan kebangsaan. Anak muda perlu mendapat pencerahan agar memiliki cara pandang/cakrawala yang luas dalam bertindak.
Gus Dur telah meninggalkan bangsa Indonesia sejak 30 Desember 2009. Namun, ia meninggalkan kenangan manis, gagasan, dan warisan berharga dalam membina harmoni kebangsaan dan kenegaraan. Sudah selayaknya kita sebagai generasi terkini nguri-nguri dan menghidupkan kembali ide kebangsaan yang telah diretas oleh Bapak Bangsa Abdurrahman Wahid. (*)
*Dosen ilmu komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta, peneliti Maarif Institute for
Culture and Humanity