Jawa Pos

Panjang Antrean Peminat Mirip Daftar Haji

Kiprah Edi Mulyono Membangkit­kan Dunia Literasi lewat Kampus Fiksi

- DIAR CANDRA, Jogjakarta

Di Kampus Fiksi, peserta dididik tentang teknik dasar penulisan, pengembang­an ide, tren tulisan, sampai bisnis penerbitan buku. Edisi road show- nya sudah menjamah berbagai kota di Jawa, Madura, dan Sulawesi.

SETIAP hari dalam dua tahun terakhir, ratusan naskah diterima Edi Mulyono dan usaha penerbitan yang didirikann­ya, Diva Press Group. Namun, tak seluruhnya bagus dan layak untuk diterbitka­n jadi buku. Bahkan, ada jenis tulisan yang copas alias copy

paste yang nekat dikirimkan.

Fakta itulah yang membuat bapak dua anak tersebut merasa resah terhadap dunia tulis-menulis Indonesia saat ini. Kegelisaha­n tersebut akhirnya memicu pria yang lebih dikenal dengan nama Edi AH Iyubenu tersebut untuk mendirikan Kampus Fiksi

Berlangsun­g sejak April 2013, Kampus Fiksi telah menolong ribuan anak muda yang punya mimpi menjadi penulis. ” Yang paling muda dan pernah jadi peserta Kampus Fiksi reguler ini adalah siswa kelas II SMP yang berasal dari Padang. Dia datang ke Jogja diantar orang tuanya,” kata pria kelahiran Sumenep tersebut di rumahnya di kawasan tenggara Jogjakarta (18/10).

Ketika memulai Kampus Fiksi itu, Edi tak yakin upaya tersebut akan sedemikian besar. Di mata suami Maemunah Nasir itu, Kampus Fiksi adalah sisi sosial usaha penerbitan miliknya, Diva Press Group.

Kampus Fiksi awalnya berjalan hanya dengan menawarkan program reguler. Yakni, peserta akan dilatih selama tiga hari di kantor Diva Press yang juga gedung Kampus Fiksi di daerah Baturetno, Banguntapa­n, Bantul.

Selama para peserta menjalani pelatihan di Jogja, biaya akomodasi mereka ditanggung sepenuhnya oleh Kampus Fiksi. Mulai makan, menginap, atau sekadar jalan-jalan ke beberapa destinasi wisata Jogja.

Untuk mengikuti Kampus Fiksi reguler, peserta harus mengirimka­n contoh naskah cerpen atau jenis tulisan fiksi lainnya. Ketika pembukaan penerimaan ”mahasiswa” disebar via media sosial, Kampus Fiksi angkatan pertama langsung ”disambar” ratusan orang.

Dari ratusan itu, akhirnya dipilihlah 20–25 orang yang menurut editor Diva Press punya kualitas tulisan yang lumayan. Setelah pro- ses itu, mereka yang terjaring langsung dikabari staf Diva Press bahwa mereka terpilih untuk dididik lebih lanjut. Dalam setahun, jumlah Kampus Fiksi reguler bisa mencapai enam kali.

Para pengisi materi Kampus Fiksi datang dari berbagai kalangan yang kompeten. Mulai penulis fiksi, budayawan, sastrawan, redaktur koran, hingga internal Diva Press.

Materi yang diberikan, selain teknik dasar penulisan, adalah pengembang­an ide, peka soal tren tulisan yang sedang in, sampai bisnis penerbitan buku. Biaya yang dikeluarka­n untuk sekali menggelar Kampus Fiksi reguler bisa mencapai belasan juta rupiah.

Nah, selepas tiga hari pelatihan di markas Kampus Fiksi, proses belajar menjadi penulis tak berhenti. Selama dua bulan, para peserta Kampus Fiksi reguler menjalani bimbingan penulisan secara online dengan editor di Diva Press.

”Kalau naskah dari peserta Kampus Fiksi reguler itu selesai, saya membebaska­n mereka buat dikirim ke penerbit mana pun. Nggak harus di Diva Press kok. Kalau malah kemudian diterbitka­n penerbit lain, saya bangga,” ucap pria berusia 37 tahun itu.

Selain Kampus Fiksi reguler, ada edisi road show. Kampus Fiksi road show tersebut merupakan bentuk respons kepada mereka yang sudah mengirimka­n tulisan untuk ikut Kampus Fiksi reguler, namun tak masuk 20–25 nama yang terpilih. Kampus Fiksi road show berjalan sejak Oktober 2013.

Kampus Fiksi road show sudah mengunjung­i banyak kota di Indonesia. Hampir semua bagian di Pulau Jawa telah disambangi. Di luar Jawa, ada Sumenep di Madura dan Makassar, Sulawesi Selatan.

”Kalau permintaan Kampus Fiksi road show dituruti semua untuk didatangi, saya bisa nggak pulang ke rumah dalam setahun,” ucap Edi.

Oktober ini Kampus Fiksi sudah memasuki angkatan ke-14. Untuk Kampus Fiksi road show- nya? ”Sudah lupa. Pokoknya banyak.”

Edi cukup senang ketika gerakan Kampus Fiksi reguler itu merangsang penerbit-penerbit lain untuk melakukan langkah serupa. Malah, semakin banyak yang melakukan gerakan itu, semakin teranglah dunia literasi Indonesia.

”Kampus Fiksi reguler, terus terang, sampai saat ini daftar tunggunya sangat panjang. Daftar sekarang, bisa tahun depan ikutnya. Guyonan saya sama teman-teman, daftar antrenya sudah seperti antre haji,” ujar anak kedua di antara tiga bersaudara itu, lalu tertawa.

Redaktur majalah sastra Horizon Joni Ariadinata yang pernah mengisi Kampus Fiksi reguler angkat jempol terhadap gerakan literasi ala Edi AH Iyubenu itu. Kampus Fiksi yang berjalan tanpa bantuan dana negara tersebut menunjukka­n kecintaan Edi kepada dunia sastra Indonesia.

”Saya kira spirit Kampus Fiksi ini adalah persaudara­an. Sesama peserta saling mendukung karena punya kecintaan yang sama kepada dunia sastra. Dibandingk­an dengan workshop penulisan berbayar yang kadang efeknya kurang kerasa, roh belajar menulis gratis ala Kampus Fiksi ini jauh lebih mengena,” tutur Joni. (c10/git/ttg)

 ?? ARYA DITHYA/JAWA POS ?? DUNIA PUSTAKA: Edi Mulyono membaca buku di kediamanny­a di Jogjakarta (18/10).
ARYA DITHYA/JAWA POS DUNIA PUSTAKA: Edi Mulyono membaca buku di kediamanny­a di Jogjakarta (18/10).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia