Peluang Tak Hanya Ada di Maksiat
PPN kesenian dan hiburan dihapus serta dikembalikan sepenuhnya ke daerah. Peluang atau sinyal bahaya bagi daerah? Berikut ulasan peneliti JPIP Haikal Atiq Zamzami.
PARA pemuja hiburan, termasuk penikmat diskotek, mungkin sempat lega. Pemerintah dikabarkan ”menghapus” pajak pertambahan nilai (PPN) untuk hiburan. Duit untuk ongkos menghibur diri bisa dihemat atau dipakai buat menikmati hiburan dengan lebih lama.
Adalah Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro yang mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 158/ PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan yang Tidak Dikenai PPN. Diskotek termasuk dalam daftar itu.
Tak heran, orang sempat bertanya-tanya. Ketika pemerintah Jokowi getol memajaki banyak bidang kehidupan demi target Rp 1.294 triliun, kok justru dunia senang-senang itu dilepaskan dari pajak. Tapi, Menkeu menyebutkan, pajak tersebut tak dihapus, melainkan dialihkan ke daerah.
Bisnis jasa kesenian dan hiburan sebenarnya adalah objek pajak pemerintah daerah, tak terkecuali diskotek. Begitu aturan di pasal 2 ayat 2c UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Namun, selama era otonomi daerah berlangsung, pemerintah pusat tetap mengenakan PPN terhadap segmen bisnis itu. Pemerintah daerah yang ditempati pun menarik retribusi serta pajak bumi dan bangunan (PBB). Jika merunut aturan, hal itu merupakan double
taxation alias pajak ganda. Ditjen Pajak juga menyebutkan, PMK 158 merupakan upaya harmonisasi dengan UU 28/2009, yakni jasa kesenian dan hiburan tidak dikenai PPN. Pengecualian itu juga disebut UU 8/1983 tentang PPN Barang dan Jasa & Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana perubahan terakhir pada UU 42/2009 (tentang PPN). Lewat PMK 158, diharapkan pemerintah daerah lebih intensif dan tidak ragu untuk mengenakan pajak daerah atas jasa tersebut.
Jika menilik prinsip desentralisasi, logis bila PPN jasa kesenian dan hiburan, termasuk diskotek, dihapus. Selain hal itu digariskan oleh UU, pemerintah daerah adalah pihak yang bersinggungan langsung dengan segmen bisnis tersebut. Seyogianya kewenangan fiskal dalam mengelola objek pajak dikembalikan untuk penambahan PAD. Apalagi, dampak sosial dari hiburan –yang kadang tidak menyenangkan– ditanggung daerah.
Beberapa jenis hiburan sering dicitrakan miring. Diskotek, misalnya, menyisakan permasalahan tersendiri. Keberadaannya kerap menghadapkan pemerintah daerah (pemda) pada posisi dilematis. Gaya hidup dugem itu tetap tak sepenuhnya dipercaya bisa menjadi hiburan yang sewajarnya. Di Jakarta yang relatif permisif, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menutup Diskotek Stadium yang dinilai keterlaluan karena menjadi pasar narkoba.
Tak heran, di tengah jingkrakjingkrak, para pereguk hiburan harus rela distop oleh aparat yang merazia. Kadang langsung dilakukan tes urine untuk mengecek kandungan narkoba (madat) dalam aktivitas melupakan diri dari masalah tersebut. Selain itu, kalau Ramadan, rumah hiburan dipaksa tutup dari ingar-bingar.
Di sisi lain, permintaan untuk segmen itu terus ada dan dianggap bagian dari hak warga negara. Area perkotaan (metropolis) adalah sasaran terbesar bisnis tersebut. Perputaran rupiah di dalamnya pasti tinggi karena mengandung aspek ”tak pikir panjang” ketika membuang uang di sektor gembira ria itu.
Setelah pemda diberi keleluasaan untuk memajaki bisnis hiburan dan kesenian, reaksinya bisa dua hal yang bertolak belakang. Pertama, bisa saja pemda membuka keran izin sehingga lebih banyak tempat hiburan serta mencegatnya dengan berbagai retribusi dan pajak atas nama PAD.
UU PDRD memperbolehkan penyelenggaraan hiburan dikenai pajak daerah dengan tarif mulai 10 persen sampai 75 persen. Yang bisa dipajaki tinggi termasuk diskotek dan sejenisnya (pasal 45 UU PDRD).
Pajak ”maksiat” ikut berkontribusi bagi kemandirian fiskal daerah, terutama kota-kota dan daerah yang permisif.
Kedua, pemerintah daerah memiliki fungsi kendali yang kian kuat dalam mengekang bisnis hiburan tersebut. Di wilayah yang religius konservatif, iming-iming pajak dari pengalihan PPN itu bisa jadi tak menggiurkan. Contohnya, Pemkab Banyuwangi menyatakan perang terhadap hiburan malam ( JPNN, 20 Agustus 2014). Selain bertentangan dengan kearifan lokal, dugem dinilai bisa memunculkan ekses pelacuran, penyebaran HIV/AIDS, perdagangan manusia, serta peredaran narkoba dan miras. Tapi, bila dicari peluangnya,
toh hiburan bukan hanya dugem dan sejenisnya. Daerah bisa mendorong munculnya jenis hiburan yang benar-benar menghibur dan tidak menimbulkan banyak ekses negatif. Dari yang disebut dalam aturan, tinggal pilih saja jenis hiburan yang cocok untuk menggembirakan hati konsumen. Pemkab Banyuwangi menolak dugem, tapi mengembangkan pergelaran jazz.
Semestinya terbitnya PMK 158 itu pun dapat ditafsirkan sebagai salah satu keberhasilan otonomi daerah, yakni bagian dari desentralisasi fiskal. Selama 14 tahun otonomi daerah, yang menonjol adalah desentralisasi politik, kemudian disusul desentralisasi administrasi. Sedangkan desentralisasi fiskal, penyerahan sumber duit, paling lambat.
Dana dari pajak kendaraan bermotor (PKB), misalnya, masih mengalir ke provinsi, bukan ke kabupaten atau kota. Padahal, kabupatan dan kota kerap harus menanggung ekses negatifnya, misalnya polusi udara, kemacetan, dan kecelakaan. Duit dari PKB yang masuk ke kocek Pemprov Jatim sebesar Rp 7,4 triliun (2014).
Selayaknya, selain ”pajak masiat”, sumber duit yang bisa mempercepat kemandirian fiskal daerah juga diserahkan.