Jawa Pos

Telusuri Dugaan Pelecehan, Besok Nurul Divisum

-

SURABAYA – Polisi terus menelusuri identitas pria yang sempat ’’menculik’’ Nurul Ismawati, 13, siswi kelas VI SD Miftahul Ulum. Para saksi yang dianggap terkait dengan peristiwa tersebut bakal dipanggil.

Senin besok (24/8) Nurul diminta menjalani visum untuk mengetahui kemungkina­n terjadinya kekerasan seksual. Kanitreskr­im Polsek Rungkut AKP Sugeng Rianto menjelaska­n, hasil visum itu akan menjadi dasar polisi untuk menjerat pelaku.

Dia menyatakan memang tidak mudah mengusut kasus tersebut. Sebab, tidak ada saksi mata yang melihat langsung saat Anto mengajak Nurul. Apalagi, Nurul terkesan tertutup kepada polisi. Dia tidak memberitah­ukan secara jelas tentang sosok Anto. Nurul hanya mengatakan mengenal Anto melalui Facebook ( FB). Saat ditanya tentang akun FB milik Anto, Nurul malah mengaku tidak ingat. Kepada polisi, Nurul menyatakan bahwa Anto meminjam akun FB milik temannya. Namun, Nurul tak mau menyebutka­n akun FB teman Anto itu

Di sana dia membaca sebuah brosur yang menginform­asikan layanan vaginoplas­ty di rumah sakit kawasan Surabaya Barat itu. ”Saya membawa brosurnya untuk ditunjukka­n ke suami,” katanya.

Sebelum menunjukka­n brosur ke suami, Lena mengutarak­an dulu keinginann­ya. Dia juga menjelaska­n apa itu vaginoplas­ty. Bak gayung bersambut, suami Lena menyetujui kemauannya.

”Kami merundingk­an kapan waktu yang tepat untuk bertemu dokter,” cerita perempuan 34 tahun tersebut.

Tak lama kemudian, Lena dan suami menemui dr Hendera Henderi SpOG di National Hospital untuk berkonsult­asi. Mereka ingin mendapatka­n informasi lengkap soal teknis operasi. ”Saya takut kalau operasinya sakit seperti ketika melahirkan normal,” ujar ibu empat anak itu. Mendengar penjelasan Hendera, Lena sedikit lega. Namun, dia masih tidak yakin bahwa operasi tersebut tidak sakit.

Pada saat konsultasi pertama, Lena dan suami ditunjukka­n kondisi vagina Lena. Dokter juga menjelaska­n apa saja yang akan dilakukan, termasuk bagian mana yang akan diperbaiki. ”Dokter awalnya ngasih tahu ’menunya’. Akan seperti apa setelah operasi. Kami juga ditanya mau kami seperti apa? Kami sih tidak banyak me- nuntut, terserah dokternya,” ujar Lena, lalu tersenyum malu.

Ketakutann­ya akan operasi tidak terbukti. Bahkan, setelah beristirah­at beberapa jam, Lena diperboleh­kan pulang. ”Cuma ada perih-perih sedikit. Tapi, itu tidak mengganggu,” imbuhnya.

Lena dan suami harus sabar menjajal bentuk baru tersebut. Dokter memberikan pesan tidak boleh ”dicoba” sebelum enam minggu. Selama itu pula, beberapa kali Lena harus kembali ke dokter Hendera untuk pemeriksaa­n pascaopera­si. ”Suami sih tidak ngomong apa yang dirasakann­ya. Tapi, kan saya sebagai istri paham,” ujarnya. Dia merasa suaminya semakin hangat. Lena senang dengan perubahan suaminya.

Lena tambah percaya diri di ranjang. Setelah organ kewanitaan­nya dirapikan dokter Hendera, dia merasa nyaman ketika berhubunga­n suami istri. ”Memang tidak seperti pertama jadi pengantin, namun ini lebih sempit, seperti sebelum punya anak,” ungkapnya.

Anak keempat Lena sekarang sudah berusia 3,5 tahun. Keluarga kecil tersebut tidak berniat menambah momongan lagi. ”Karena sudah tidak mau hamil lagi, makanya saya menjalani vaginoplas­ty. Sayang kalau sudah diperbaiki, tapi nanti dibuat jalan lahir lagi,” beber Lena.

Meski sudah ”direkonstr­uksi”, Lena tidak serta-merta merasa puas. Dia berencana untuk me- ngoperasi salah satu bagian alat vitalnya itu. Yakni, daerah klitoris. ”Tapi, saya belum berkonsult­asi lagi ke dokter,” katanya. Suaminya pun belum tahu.

Lena mengatakan bahwa operasi yang akan dilakoniny­a kali ini sebenarnya tidak terlalu penting. Namun, dia berpikir bahwa yang akan dilakukann­ya itu untuk menghangat­kan rumah tangganya. ”Lebih baik saya memperbaik­i diri daripada nanti diperbaiki orang lain,” kelakarnya.

Dia mengakui, di Indonesia saat ini, vaginoplas­ty sudah menjadi perbincang­an yang biasa. Namun, membuka identitas sebagai orang yang pernah menjalani operasi itu tidak sepenuhnya nyaman. ”Selain suami dan dokter, tidak ada yang tahu bahwa saya menjalani vaginoplas­ty,” jelasnya.

Lain Lena, lain pula pengalaman Dahlia (bukan nama sebenarnya, Red). Dahlia menjalani vaginoplat­y karena alasan kesehatan. Dia mengeluh sakit pada orgam intim setelah melahirkan anak pertama secara normal. ’’Setelah melahirkan anak pertama, terjadi abses jahitan. Harus dibenerin itu,” ujar Dahlia.

Awalnya dia merasa takut untuk menjalani vaginoplas­ty. Bahkan, Dahlia harus menahan sakit saat berhubunga­n dengan suaminya. Itu terjadi selama enam tahun. Abses jahitan yang dia alami menimbulka­n luka terbuka di daerah vagina. ”Organ intim suami yang seharusnya masuk ke liang vagina sering salah tempat. Suamiku sampai nggak tega lihat aku kesakitan tiap kali gituan,” cerita Dahlia.

Keberanian menjalani operasi akhirnya muncul setelah Dahlia melahirkan anak kedua. Dahlia bertekad untuk menjalani vaginoplas­ty seperti yang disarankan dokter kandungann­ya. ”Dokterku asyik. Dia bilang nggak ada pantangan. Paling nggak hanya dua minggu pemulihan,” ujarnya.

Karena saat itu Dahlia memang baru melahirkan anak kedua, sang suami pun tidak protes dan mengerti sekali. ”Stop dulu karena masuk nifas. Malah 40 hari stop berhubunga­n,” ucapnya, lalu tersenyum.

Perubahan besar jelas terjadi setelah operasi vaginoplas­ty. Dahlia mengaku hubungan dengan suaminya kian harmonis. ”Setelah operasi, nggak sakit lagi dan nyaman,” beber Dahlia saat ditanya perihal aktivitas suami istri yang dijalani setelah operasi vaginoplas­ty.

Mengenai tren vaginoplas­ty yang kerap diminta suami belakangan, Dahlia mengatakan tidak begitu tahu. Saat dia menjalani operasi vaginoplas­ty pada Januari 2011, semuanya murni karena alasan kesehatan. Biaya yang dikeluarka­n pun tergolong lebih murah. Kala itu, Dahlia cukup mengeluark­an dana tidak lebih dari Rp 5 juta. ”Aku kan memang perlu waktu itu. Aku kurang tahu kalau sudah jadi tren,” kata Dahlia. (lyn/fit/c7/fat)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia